Khusuk itu khidmat. Di dalam suasana yang penuh kesyahduan, jika intens dan tekun, akan membuka kemungkinan untuk semakin luruh kagum.Â
Di suasana yang syahdu, sangatlah mengharu biru. Berdoa dan berikhtiar menjadi lebih sejalan. Realistik, tidak memohon yang berlebih-lebihan.
Kekhilafan pastilah ada. Asalkan tidak mengada-ada. Salah, keliru, dan tledor datang silih berganti sehari-hari. Sering disikapi tanpa panjang pikir. Bimbang, bingung, dan buncah membuat silam tergambar kacau. Kekhusyukan memberi sinar yang menerangi jalan.
Khusyuk itu khidmat. Ia mampu menjadi penerjemah cita rasa yang terbersit di jiwa. Mampu pula membedakan motif kekuasaan orang mulia, di saat sedang lapar. Serta mampu  mengenali kekuasaan orang tercela di saat sedang kenyang.
Lapar dan kenyang merupakan ujian, Â baik di saat bersama atau sendirian.
Perlu meninggikan jiwa, untuk menekan rendah nafsu bedebah. Jika nafsu hanya ingin meninggi saja, maka sedikit guna bila  berpuasa.Â
Keserakahan itu tidak akan mampu lebih menenteramkan jiwa : "Redix omnium malorum est cupiditas. Srakah iku sumbering kadurakan". Akar dari segala keburukan adalah keserakahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H