Jembatan terkesan makin meninggi. Ia menyimpan sesuatu di antara kemarin dan esok. Hari ini, dari ketinggian, ia melihat ke bawah. Lalu terbayang kisah lalu yang telanjur memanjang.
Kubiarkan saja. Apa hendak di kata. Bayangan itu pastilah tidak bernyawa. Tapi jika mau melukis mata, silakan saja. Atau diberi bayang pelukan tangan, siapa yang larang.
Jembatan itu bergerak meninggi. Ia cermat mengamati apa gerangan yang terjadi.Â
Semakin berada di ketinggian, iri hati pun menjulang. Seakan sedang di daerah buta, lalu menerka seenaknya saja.Â
"Caeca invidia, iri iku wuta". Iri hati itu buta. Lalu merasa jadi angin. Meniupkannya dari ketinggian jembatan, dengan target memporakporandakan objek yang diirikan.Â
Iri berpanas hati, seperti peternakan dengki. Mengembangkan rasa cemburu yang tidak perlu, memperlakukan orang lain sebagai musuh "satru".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H