Dengar, dengarkanlah. Bagaimana perihnya ketajaman lidah. Mari kita taklukkan, agar terbang hilang membubung ke awan.
Kegalauan hati itu sangatlah ganas. Ia menggerogoti hati dan pikiran. Sangat pelan, nyaris tidak terasa kehadirannya.
Bak suasana petang. Mirip gondola yang mengapung suram. Hampa, hampir kehilangan pesona.Â
Dahulu memang bersahabat karib. Ditingkatkan menjadi hubungan percintaan. Tapi akhir-akhir ini malah makin merenggang. Kita terlalu asyik mencari perbedaan, serta mengais celah kekurangan.
Rasanya seperti belajar membaca dari awal. Babibu, tatitu. Diulang-ulang, hingga mampu berada di luar kepala.
Tapi cinta itu bukanlah "babibu" dan "tatitu". Bahasa yang tak terucapkan, justru lebih sulit untuk dimaknai dengan nyaman.
Gemericik air pun seperti debur ombak besar. Menjadi sumber gusar, awal untuk bertengkar. Kepedulian bergeser ke syak wasangka. Selalu curiga terhadap keingkaran cinta.
Dahulu, kita termasuk pasangan yang yang tidak mudah mengunyah gosip sampah. Selalu ikhlas berbagi, mau saling mendengarkan. Hingga berkomitmen untuk irit berjanji, jika sulit ditepati.
Kita sama-sama tahu, bahwa janji palsu itu seperti sembilu. Mengiris hati pelan, sakitnya berkepanjangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H