Di saat bangun pagi, terlihat kabut, sedang menjemput. Pagi menyisa dingin, tersamar pandang, indah temaram.
Memang sedikit kalut, minggu kemarin, sisakan degup. Kenang kenangan, kok saling bertindihan, bersama datang. Tak siap itu, hati sendu membiru, di hari itu.
Di ketinggian hasrat, jarak memikat, gaungnya pekat. Mirip sebuah lagu, yang lamat-lamat, tawarkan rindu. Buat syair sendiri, yang berkejaran, dengan nadanya.
Tebing makin menganga, membawa gaung, hati nan duka. Menyeru lama, tapi tidak didengar, oleh cuaca.
Tebing di gunung, menyuarakan gaung, terapung-apung. Di awan, di hutan, di keluasam lahan. Mungkin aku sendiri, yang mendengarkan, gulana itu.
Mencari senang syukur, sulit diukur, semakin kabur. Tiap orang berbeda, karna selera, tidaklah sama. Tertimbun dalam, sulit untuk disentuh, bila mendendam.
Pagi berkabut, marilah kita jemput, tanpa berdegup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H