Lama pantai itu sepi. Riak ombak bergulung sunyi. Terasa serak dan sesak lama sekali.
Tapi pantai itu masih mampu tersenyum. Walau tak ada lagi yang berkemah di sini. Raut wajahnya berseri. Mereka mengibaskan benci.
Saat menyambangi kembali, mereka menyambut riang. Bercerita tentang riuh yang hilang. Malah leluasa berkontemplasi. Berakrab dengan tenangnya pagi.
Denting sepelan apa pun menyajikan nada orkestra. Tapi tersering malah gending-gending gamelan. Debur maunya seperti suara tambur. Nada berseberangan, namun memadu kemerduan.
Riaknya pun makin putih cermerlang. Tak disaput warna sampah yang kecoklatan. Mereka bermain petak umpet. Berlari, dikejar, tak pernah tertangkap tangan.
Pantai itu hampir selesai berpuasa. Menenangkan jiwa, menaklukkan benci rasa. Semilirnya menenteramkan alam.
Mendengarkan debur, membaca asa dari guru alam. Dikerudungi langit, agar mampu bersyukur dengan hening khidmad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H