Bima sering jadi idola. Tapi ada saja yang sekedar mengidolakannya. Gagahnya, menjamin rasa aman di pelukan. Ketegasannya, mampu berkata tidak dengan nyaman.
Ternyata Bima masa kini bertambah lentur. Postur tubuhnya semakin subur. Â Jika berjanji suka ngelantur.
Cinta jarak jauhku begitu. Katanya kangen, tapi hanya berangan-angan. Lebih banyak mencintai angkringan. Bergerak di antara lapar dan kenyang.
Aku menanti tak berkesudahan. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun.Â
Hujan rintik berdetik-detik, masih bermimpi sunyi. Â Hati pun kuyup, ingin kering kembali.Â
Di antara kegalauan hati, semakin jarang bertukar pesan. Paling hanya mengucapkan selamat malam. Sependek itu, jika tak bosan.
Bima itu mestinya tidak berahasia. Keadaan apa pun disampaikan dengan jiwa ksatria.
Dulu saya kagum dengan Bima. Tapi sekarang kok bosan juga. Mencari ksatria lain ternyata penting. Agar kepala tidak lagi pusing.
Dengan demikian aku tidak dibelenggu cemburu. Perih seperti teriris sembilu. Hari penantian yang berjarak, membuat jantung makin berdetak.
Aku ingin melihat pohon kuat. Walau di penghujan makin hilang sosoknya. Hanya lirih terpantul di dinding jiwa. Tapi masih tersisa asa.