Walau lama telah tiada, serasa ayah masih ada.Â
Ingat sewaktu ayah melatih sifat sportif. Di halaman rumah, tersedia dua lapangan badminton. Jika latihan malam, empat lampu petromaks dinyalakan.
Ayah adalah pelatih yang baik. Anak diberi kesempatan agar merasakan kalah atau menang. Sering ayah mengalah, agar tahu bagaimana rasanya menang. "Wani ngalah, dhuwur wekasane"atau berani mengalah itu susah tapi mulia kemudian.
Mengalah bukanlah kalah. Ayah seolah paham, bahwa paradigma mengalah merupakan pilihan yang sulit bukan main.
Ayah paham, anak pertama sulit mengalah, karena selalu berposisi menang. Bukan mau dia. Tetapi faktor eksternallah yang membuat sifat "kemratu-mratu" nya melekat hingga mendekati senja. Asah, asih, asuh di rumah tangga jadinya berbeda-beda.
Kebutuhan merasa penting, hakikatnya menjadi kebutuhan dasariah. Namun kebutuhan untuk mengalami keberagaman pun juga perlu diperkenalkan sejak dini.
Ayah menunjukkan adanya praktik keberagaman itu. Kakak berbeda dengan adik. Adik tidak boleh diposisikan kalah terus menerus. Kakak juga tidak boleh dimenangkan terus menerus.
Semakin tua terasakan, bahwa perburuan zona nyaman tiada habisnya.
Pada hakikatnya, ayah sudah berada di zona nyaman sekarang. Semua nanti akan seperti ayah. Menjawab pertanyaan abadi : "Siapa saya untuk dikenang? :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H