Pada dasarnya manusia itu memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak. Ini merupakan kekuatan kesadaran. Sadar akan kelebihan, sadar pula terhadap kekurangannya.
Jika selalu sendirian, mungkin minim dampak dari hubungan sosial. Oleh karena itu perlu diperhatikan dua kesadaran sekaligus, yaitu kesadaran internal dan kesadaran eksternal.
Kesadaran internal adalah totalitas dari pemikiran, perasaan, serta keyakinan berdasarkan nilai-nilai yang berlaku. Karena semua itu akan memengaruhi sikap dan tingkah laku.
Kesadaran eksternal, ditandai dengan kepekaan dalam menangkap hasrat yang paling diinginkan oleh orang lain.
Sikap asertif dibutuhkan, terutama sebagai kecerdasan dalam mendayagunakan kesadaran eksternal yang sejalan dengan kesadaran internal.
Dalam praktik, selalu mengusahakan agar sikap dan tingkah lakunya tidak diterima sebagai hal yang menyakitkan. Kata Ebiet G Ade : "Tengoklah ke dalam, sebelum berbicara". Malah kalau mampu, tidak akan pernah menyinggung masalah hak azasi yang paling azasi.
Sikap asertif itu butuh ketegasan diri sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, ketegasan tersebut diolah menjadi seni menolak halus. Tentu sambil membayangkan dampak kesadaran eksternalnya. Jangan-jangan komunikasi yang terjalin itu sama sekali tidak efektif. Kerangka besarnya, lebih mengedepankan hubungan yang mampu saling menghormati.
Apakah ini untuk menghindari konflik ? Jawabnya tidak sepenuhnya benar. Mengedepankan rasa hormat terhadap sesama adalah segalanya.
Pentas asal mengumpat, saling mengatakan dungu, membahas tampilan phisik dan lain-lain adalah contoh perbuatan yang tidak asertif. Jika yang bersangkutan  membiarkannya, justru itu merupakan salah satu contoh praktik asertif.
Sebenarnya banyak cara untuk menyatakan ketidaksetujuan atau ketidaksenangan. Tetapi bila disaring dari rasa hormat terhadap sesama, pilihan kata yang paling kasar merupakan indikasi tiadanya sikap asertif.