Kos pertama kali di Jogja, tidak jauh dari Malioboro. Berdampingan dengan Asrama Mahasiswa Banuhampu. Termasuk wilayah Pringgokusuman atau Jlagran. Di depan rumah, melintas rel kereta api jurusan Bantul.
Jika ke Malioboro berjalan kaki. Melewati satu perempatan sudah sampai di Sosrowijayan. Tak lama, Maloboro sudah kelihatan terbentang.
Berjalan kaki di malam hari sungguh menyenangkan. Mengamati keadaan di kanan kiri, mata pun dicuci. Rute rutin yang dijalani Pringgokusuman - Seni Sono, lalu pulang lagi.
Kalau mau kulineran ya pilih yang tleseran. Di depan rumah kos-kosan ada penjual hik. Mahasiswa Banuhampu meramaikannya. Konsumsi sehari-hari cukup dipenuhi dari sini.
Kalau bosan, berjalan sebentar ke warung di ujung jalan. Ngambil dahulu, bayar belakangan.
Kuliner Sosrowijayan, padat dengan bule backpakers. Mirip Kuta, bertumbuhan hotel Melati. Di sini dapat ditemui Warung Bistik Bu Sis. Lokasinya nylempit, tapi masuk ke buku panduan backpakers dunia. Walau sering lewat, belum pernah mampir ke sana.
Begitu ketemu jalan Malioboro, terlihat Garden Restaurant Legian. Sekitar tahun 1970an ramainya bukan main. Persis suasana Kuta. Penuh bule.
Sebelum terbakar ludes, beberapa kali pernah ke sana. Sambil mengenang anak lelaki saya yang lahir di Jogja. Namanya mirip, yaitu Legian Salasa. Ia lahir di hari Selasa Legi.
Memang nyaman duduk di lantai 2. Lalu lalang di Malioboro maupun di jalan Perwakilan terlihat nyata. Apalagi ditemani es krim Banana Split dan steak.
Berjalan terus, lalu ingat Bakmi Ketandan. Ada aroma mi goreng dan nasi goreng melintas. Terbayangkan kembali, sinar api arang yang menari-nari di sekitar anglo. Semakin dikipasi, semakin merah mengangah. Sega goreng uritan, dulu jadi andalan. Tapi ya itu, harus sabar menunggu antrian lama.
Sebenarnya kangen juga makan gudheg lesehan di Malioboro seperti waktu masih menjadi pejalan kaki dulu. Semisal varian gudheg basah di emperan Toko Liman. Aromanya khas, sepertinya bumbunya ditambahi sedikit trasi.