Hidup itu kenyataan, bukan pengetahuan. Kenyataan itu bersifat bebas, tidak tunduk kepada kehendak orang per orang. Selama hidup berkegiatan, kita tidak bisa melepaskan diri dari keterpengaruhan.
Manusia itu unik. Tak ada seorang pun yang persis sama dengan orang lain. Keberadaan sifat khas yang bersifat simbolik, menjadikannya berpandangan hidup sendiri-sendiri.
Pandangan hidup itu tidak bisa lepas dari terpaan dua angin. Angin pertama menghempaskan ke kubangan kemerosotan. Angin kedua, membuai ke rasa kemenangan.
Sering angin tersebut beradu satu lawan satu. Atau bersengkokol menyatu. Kekuatannya kadang dahsyat berlipat-lipat.
Mereka hadir sesuka-suka. Kadang tersembunyi, sering kali terlihat nyata. Menjelaskan sesuatu yang tersembunyi, membawa sifat buta. "Aku tidak tahu, orang lain sangat tahu".
Walau belum masuk ke wilayah gelap, kadang cukup mengherankan. Misal, bagaimana bisa, gerombolan semut kecil atau rayap mampu meluluh lantakkan kekokohan bangunan.
Bangunan itu ibarat pandangan hidup. Rayap adalah barisan persoalan remeh temeh yang dibiarkan beranak pinak. Jika tidak ada mitigasi, manajemen risiko pun terancam amburadul. Kita baru mengerti, setelah dampak buruknya terjadi.
Kebenaran terkadang bersumber dari luar kesadaran. Penguasaan diri menguat dari dalam. Dasar untuk bertindak, tidak asal menuruti semau-maunya kehendak.
Insan yang berpengertian membutuhkan kejernihan persepsi. Sikap yang perseptif  berketajaman dalam proses penilaian insan. Daya pengamatan dan daya pemahaman bergerak bersamaan menyesuaikan diri ke arah kondisi yang dibayangkan nyaman.
Dalam khasanah Jawa, telah lama diingatkan agar kita tidak berperilaku "ambidhung api rowang". Menjadi insan palsu penuh kepura-puraan itu ternyata mengancam harkat kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H