Lonthong balap sudah masuk kategori kuliner klangenan. Dengan menikmatinya, akan mengundang kenangan masa silam, antara lain di zaman susah kala kuliah penuh penderitaan.
Ada yang mengenang Kampus ITS Baliwerti Surabaya di tahun 1979an. Berlanjut ke kampus Sukolilo. Dengan kantong pas-pasan, lonthong balap menggganjal perut hingga prestasi berdenyut. Kini kehidupan sudah lebih dari cukup. Kalau kangen duka lama, tentu tidak selalu ke sana. Jika selera cocok, sirkuit lonthong balap bisa dinikmati di mana saja, dan kapan saja.
Kalangan artis dan profesional ada yang memilih Lonthong Balap Pak Gendut di Jalan Kranggan Surabaya. Ada pula yang mengenang masa silamnya di tempat lain. Malah boleh dikatakan, selera pasti tidaklah sama. Di zaman pandemi saat ini pun tak soal. Pesan makanan dapat dilakukan semudah memencet tombol.
Sirkuit lonthong balap menajamkan ingatan lalu, bahwa sejatinya makanan ini merupakan arena balapan. Mana yang menjadi pemenang. Lonthongnya atau kecambahnya.Â
Kecambah terkesan mendominasi. Sedangkan lonthong lebih banyak mengalah. Apalagi si kecambah mengajak banyak suporter. Soun, tahu cina, lentho. Suasana bertambah segar, karena aroma mrica bubuk, daun jeruk nipis, petis. Bahkan cabai rawit pun ikut-ikutan.
Dahulu kala, penjaja lonthong balap selalu menang dalam lomba berlari sehari-hari mengejar rizki. Karena rombongnya dipikul, mereka cepat sekali menghilang tak muncul.
Kenangan sebagai khasanah masa lalu ada yang murah meriah. Ketika dinikmati dengan bumbu nostalgia, bisa lupa mertua.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H