Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Memburu Gengsi Tiada Henti

1 Agustus 2021   03:59 Diperbarui: 1 Agustus 2021   07:28 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Apakah gengsi iru memang pakaian sehari-hari yang sering berubah-ubah penyebutannya ? Di gelaran kehidupan nyata, berbagai istilah digunakannya. Harga diri, martabat, pamor, dan atau status sosial.

Untuk urusan yang satu ini, proses pencariannya akan berlangsung hingga ke titik paling akhir.

Bisa dimaklumi, jika mengingat bahwa sifat persona itu sama dengan tiada henti berkeinginan untuk menjadi diri sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, benih-benih itu tidak mampu tumbuh sebagaimana yang diangankan.

Sebenarnya setiap individu pasti  membawa atributnya masing-masing.

Si Fulan, misalnya. Sewaktu kanak-kanak hingga menua, selalu bersinggungan terus dengan urusan gengsi. Gengsi menjadi peringkat satu, gengsi menjadi profesional posisi puncak, gengsi sebagai pejabat atau ibu pejabat, gengsi sebagai pensiunan yang mandiri, dan nantinya gengsi dimakamkan di hill yang eksklusif.

Pribadi mempunyai daya dukung untuk mewujudkan ambisi dalam perwujudan yang berbeda-beda. Ujungnya, ingin jawaban agak pasti atas pertanyaan : "Siapa saya untuk dikenang ?".

Kemarin, teman dari Jogja berpendapat : "Harga diri itu bersifat personal. Juga tidak pandang status. Ekspresinya berbeda-beda, menuju ke satu". Harga diri mungkin saja  terkait dengan sifat komunal. "Keluarga, trah, bahkan hingga ke harga diri bangsa dan negara", imbuhnya.

Dalam khasanah Budaya Jawa, telah dikenal ungkapan yang terkait dengan gengsi atau aji.

Gengsi seseorang terlihat dari pakaian yang dipakai, "ajining raga saka busana". Kewibawaan ditentukan oleh integritas, "ajining dhiri gumantung kedhaling lathi", nafsu untuk mencapai tujuan dengan menggunakan segala cara, "aji mumpung", dan kehilangan kewibawaan karena ulah sendiri, "aji godhong aking".

Memburu gengsi tanpa henti, akan membawa konsekwensi. Ada yang menyadari, ada juga yang lupa atau "lali purwa duksina". Buah perbuatan ternyata selalu ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun