Menikmati gempol pertama kali di pasar tradisional Tawangsari. Tentu sudah lama sekali, lebih dari setengah abad yang lalu.
Masyarakat desa belum mengenal kulkas. Air minum dalam kemasan belum ada. Andalan air minum yang berkwalitas hanyalah air sumur.
Air sumur zaman dahulu terjamin kesegarannya.
Airnya memang sesegar air pegunungan. Gempol memanfaatkannya, tanpa harus direbus terlebih dahulu. Masyarakat menyebut "banyu tawa". Dijamin aman diminum tanpa dimasak terlebih dahulu. "Banyu tawa" bukanlah "banyu anta". "Banyu anta" tidak layak dikonsumsi. Kebanyakan hanya untuk mencuci, menyiram, dan memenuhi kebutuhan tanaman dan hewan.
Saat ini jika ingin kuliner ini, tidak mungkin sama persis dengan gempol versi jadul. Mencari "air tawa" pasti sulit sekali.
Gempol bukanlah dhawet. Â Berisi penthol putih berbahan beras. Kuahnya dari santan "air tawa". Ini mungkin salah satu siasat untuk mengganjal perut di saat terik matahari.
Sebagai kuliner nostalgia, masih sangat mungkin diburu. Kalau sedang ke Soto Gadhing Solo, dapat menjumpai penjaja "Gempol Plered" di sana. Jika ke Semarang, silakan ke jalan Lampersari, atau Pasar Kranggan, atau ke Pleburan kampus UNDIP lama.
Jika kesampaian ke sana, lumayan untuk pengobat rindu. Tapi siap-siaplah bahwa gempol zaman now, tidak lagi sesegar kenangan dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H