Ki Manteb Sudarsono barusan kapundhut oleh yang Maha Kuasa. Ki Seno Nugroho malah mendahului. Batas umur manusia tidak ada yang tahu. Daerah gelap, saya tidak tahu, anda pun pasti tidak tahu.
Saya mencintai wayang sejak kecil. Almarhumah ibu saya selalu memberi oleh-oleh wayang kertas dari pasar. Lama-lama punya koleksi satu kotak.
Sewaktu saya khitan, orang tua mengundang dhalang kondhang. Saya masih merasakan sakit bukan kepalang, penonton wayang malah bersenang- senang.
Jika menonton wayang, paling asyik dari belakang kelir. Wayang yang dipahat dari kulit kerbau itu tembus oleh cahaya blencong. Lampu jadul itu api nyalanya bergoyang jika terkena angin malam. Wayang adalah bayang-bayang cahaya tersebut.
Adegan kerajaan digambarkan birokratis. Laporan kebanyakan asal raja senang.Â
Ada pula gara-gara. Punakawan membicarakan masalah riil sehari-hari. Bahkan selalu membahas tentang dampak dari bencana. "Bumi bergetar. Manusia berlarian mencari perlindungan. Wabah penyakit membuat rakyat sedih. Kepada siapa mereka memohon perlindungan ? Setiap kekacauan melahirkan makhluk yang berperangai aneh. Mereka sama sekali tidak peduli. Bencana pun makin menjadi-jadi".
Saya selalu menunggu adegan itu. Setelah direnungkan, timbul pertanyaan : "Mengapa ketidak pedulian masyarakat berlangsung secara turun temurun ?" Di masa pandemi sekarang ini saya membayangkan Ki Seno Nugroho berpentas dengan lakon "Bayang-bayang Pandemi Menghilang". Ingin mendengar apa komentar Bagong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H