Jogja pernah mengalami dahsyatnya gempa lindhu. Gempa bumi mengguncang. Korbannya seperti kalah perang. Bagi yang belum mengalami, Â gempa hanya sebatas goyangan permukaan bumi. Tapi bisa juga seperti disapu tsunami. "Lindhu iku obahing bumi, amarga dayaning gunung geni, utawa longsor lapis bumi". Masyarakat Jogja dan sekitarnya menyebut dampak gempa sebagai "kalindhon".
Tanggal 27 Mei 2006, 15 tahun yang lalu gempa lindhu menggoyang. Walau berlangsung  57 detik, gempa dengan 5,9 skala Richter itu memakan korban sekitar 6.000 orang. Kejadiannya pagi hari, pukul 05.55 WIB. Pergerakan manusia menyelamatkan diri seperti gabah padi yang diputar-putar. Dari selatan menuju utara. Dari utara menuju selatan. Tak tahu arah. Mana barat, mana timur. Sebagai pengingat, dibangunlah Prasasti Episentrum sebagai pengingat gempa dahsyat di Potrobayan, Srihardono, Pundong, Bantul.
Gempa menyebabkan luka. Dari luka itu, ada saja trauma atau "kelindhon" yang hingga saat ini masih dirasakan. Misal, para ibu yang sedang hamil, lupa melakukan ritual budaya "ngawoni". Dampak negatifnya, si anak mudah jatuh. Ini bagian dari kepercayaan yang pelan-pelan mulai menghilang.
Gempa lindhu Jogjakarta menimbulkan trauma. Ingatan tentang korban jiwa mau pun harta benda, hilangnya lama . Alam terkembang adalah guru. Namun kita masih saja menggurui alam, karena mudah lupa terhadap peristiwa bencana silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H