Humanitas selalu melekat erat dengan perikemanusiaan. Secara spesifik, Pancasila merumuskannya sebagai Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sangat berat untuk menjadi adil. Kita harus mampu bertindak : selayaknya, semestinya, sepantasnya, sepatutnya, dan sewajarnya. Sedangkan pengertian beradab, mampu berpedoman pada budi pekerti, yang dijadikan pandangan hidup atau ideologi.
Menjadi humanis termasuk sulit. Kita sulit menolak ketika mulai dimasukkan ke kotak sempit. "Aku bukan kelompokmu, kelompokmu bukanlah aku". Itu slogan yang sering terdengar.
Politik identitas memang berseberangan dengan humanisme. Apalagi ketika keguyuban atau kerukunan malah dikesani sebagai konsep yang mengada-ada.
Masyarakat yang dikotak-kotakkan tentu hanyalah dampak dari praktik politik identitas yang semakin marak. Asalkan tidak menjadi pemicu penyakit sosial, sebenarnya wajar-wajar saja. Tapi kalau dimanfaatkan untuk berkonflik sosial horisontal, tentu tidak pada tempatnya. Keguyuban atau kerukunan selalu mengedepankan sisi humanisme.
Sulit rasanya menjadi orang yang humanis. Walau semua mengerti bahwa manusia tidak bisa digeser perannya sebagai subjek terpenting dalam menciptakan kedamaian abadi. "Memayu hayuning bawana", adalah semboyan atau sesanti agar dunia damai lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H