Praduga atau syak wasangka itu ada dua jenis. Praduga tidak bersalah, dan praduga bersalah. Kedua-duanya masih tahap anggapan yang bersifat bias.
Jika dihubungkan dengan pragmatisme, maka prinsip kebenaran suatu pernyataan, harus diukur dan dihubungkan dengan pengamatan yang dampaknya bisa diduga akan bermanfaat. Kebenaran versi ini mungkin bisa berubah. Tergantung : tempat, waktu, dan maksud.
Praduga, secara sosial akan selalu hadir pada setiap periode masa, dengan bermacam-macam problema. Lahirlah kelompok pengikut dan pembenci karena perbedaan sudut pandang itu.
Ketika menghadapi berbagai masalah sosial, diperlukan pemaknaan dari berbagai sudut pandang . Misal : batu karang. Bisa diterjemahkan keras, tetapi bisa pula lebih lunak jika dibandingkan dengan benda yang lebih keras lagi. Keberadaan suami itu juga begitu. Ia bertanggung jawab sebagai suami, karena yang bersangkutan telah resmi beristeri. Jika belum menikah, ia belum bisa bertanggung jawab sebagai suami.
Kalau menyangkut profesi, lain lagi. Dalam bertugas, polisi, jaksa, dan hakim memiliki kekhasan sendiri dalam menyelesaikan kasus syak wasangka.
Jika mereka sedang mengusut seseorang yang diduga menyampaikan ujaran kebencian misalnya, tentu masing-masing profesi berlainan prinsip dalam menyelesaikannya.
Namun demikian, dalam keadaan "perang syak wasangka", hukum malah sering menjadi bisu : "inter arma silent leges".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H