Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ingatan Ndara Kakung

26 Maret 2021   10:24 Diperbarui: 26 Maret 2021   10:35 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak semua orang berkemampuan bohong. Namun hingga saat ini perilaku itu merasuk ke mana-mana. Dari kehidupan rumah tangga, hingga dunia kerja. Apa motifnya ? Salah satu di antaranya ingin tetap menjadi tangan kanan Pak Boss. "To make the boss looks good". Namanya saja Ndara Tuan. Wajib diperhatikan agar hubungan kerja tetap aman dan nyaman.

Kemungkinan itu masih terkait dengan perilaku feodal, tinggalan budaya meneer, berabad-abad silam. Kalau pangkat dan jabatan, hingga kini masih menggiurkan. Hal-hal yang berhubungan dengan masalah mobilitas vertikal, menarik untuk diperjuangkan. Pangkat naik, jabatan pun naik.

Persyaratan kompetensi sebenarnya masih diutamakan. Tetapi kalau nuansa kerjasama terganggu, tentu ada pilihan serta pemolesan. 

Dalam khasanah budaya Jawa, laku atau uji kompentensi agar bisa naik jabatan menjadi "Ndara Tuan" perlu modal, berupa : "Guna, kaya, lan purun".

Guna, adalah cerminan intelektualitas yang selalu dimutakhirkan. Kaya, bagian dari kebutuhan dasar yang telah tercukupi. Sedangkan purun, motivasi pribadi yang terjaga tetap tinggi, dalam berbagai situasi. Bersikap profesional, tidak emosional.

Di luar itu, "Ndara Tuan" juga mesti nyawiji antaraning lathi lan pakerti, satunya kata dengan perbuatan. Saat ini lebih populer dengan berintegritas. Integritas merupakan kumpulan tabiat yang berfokus pada : kejujuran, ketulusan, akhlak, moralitas, dan tabiat. Itu "das sollen"nya. Kenyataannya atau "das sein"nya belum tentu klop.

Fakta menunjukkan, bahwa kebohongan pribadi maupun kebohongan publik, masih menjadi penghias dan kiat untuk naik ke jenjang lebih tinggi. 

Tetapi terdapat prasyarat, yaitu para praktisi kebohongan itu harus kuat memori ingatannya. Jika lemot, maka akan dijadikan bulan-bulanan. Berbohong pun perlu konsistensi. "Mendacem memorem esse oportere", prasyarat menjadi pembohong adalah harus kuat di ingatan. Bila tidak, ia tidak akan dipercaya lagi sebagai insan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun