Tidak semua cerita burung itu gosip. Ada juga yang memang benar kejadiannya, namun dibumbui gunjingan seru. Sepedas sambal isu. Apalagi jika penyebarnya punya bakat menggelap-gelapkannya.
Kabar burung atau rumor diibaratkan dengan kicauan. Selalu merdu jika didengar. Seperti isu periode jabatan presiden. Jika tidak benar, hanya memancing terjadinya insiden. Ketidak normalan, dipoles seolah normal, diracik logis oleh para peracik, hingga menarik publik.
Antropolog James Siegel pernah mengatakan bahwa berpolitik di Indonesia masih mengandalkan keyakinan, tinimbang pemutakhiran pengetahuan. Â Oleh karena itu, gosip politik masih nyaman bersliweran. Masalah peka yang dijadikan bakunya masih sekitar isu keagamaan, kerakyatan, dan nasionalisme. Realitas cara berpolitik itu selalu bertahan di puncak tangga dari masa ke masa.
Bahasa terpolos, selalu tidak akan mampu menampilkan maksud yang nyata maupun yang tersembunyi dari sesuatu. Apalagi bahasa yang sudah terpoles. Jadi secara hakiki, apakah mungkin terjadi proses bertukar pikiran? Jangan-jangan hanya bertukar bahasa saja.
Bibir sepertinya ditakdirkan gampang untuk diajak berbunga-bunga. Terbuka kemungkinan untuk dipoles gincu warna-warni sesuai selera. Kalau dalam budaya Jawa dilambangkan dengan Tembang Rawat-rawat. Sayup-sayup, tidak jelas, dan sangat sulit diuji kebenarannya.
Mulut bisa diandaikan seperti binatang buas. Ia sangat mungkin menerkam, jika dibiarkan lepas. Bagi yang sadar berakal, posisi mulut mudah diletakkan di belakang hati.
"Immensum est loqui de curruptionibus". Pembicaraan tentang kejahatan, tidak akan habis hingga akhir zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H