Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kenalkan, "Saya Tumpeng"

11 Maret 2021   10:30 Diperbarui: 11 Maret 2021   10:31 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di saat musim penghujan disertai es, tiba-tiba tumpeng akan diratakan, agar runcing tumpengku tiada. Pasrah saja, lha wong tumpeng ini hanya produk budaya. Memang hingga saat ini masih ada saja yang membuatnya, malah penuh kreasi yang disukai orang dari berbagai lapis usia.

Bagi tetangga dengan profesi petani, kenduri bertukar tumpeng sangat dinanti. Apalagi kalau sukses bertanam padi, masih dilanjut dengan sukacita nanggap pagelaran wayang kulit segala.

Tumpeng itu sebenarnya hanyalah penampakan dari nasi yang dicetak dengan kukusan. Sedangkan kukusan adalah perabotan menanak nasi, terbuat dari anyaman bambu. Bentuknya kerucut lancip ke bawah. Ukuran kukusan pun bermacam-macam. Dari yang kecil hingga besar.

Apabila dalam syukuran panen raya hadir pula sesepuh desa, maka pucuk tumpeng disediakan untuknya. Bentuknya segitiga kecil, berpenutup daun pisang dengan conthongan kerucut pula.

Tentang lauk pauk, sungguh istimewa untuk petani desa. Urap sayuran, sambel goreng telur, ikan asin, sambel goreng hati rempela, kering tempe, dan ayam goreng.

Bagi petani Jawa, setiap hari pasti melihat runcingnya bentuk gunung dan hamparan pemandangan sawah. Uba rampe tumpeng merupakan analogi keseharian di sawah. Tata cara makan tumpeng persis cara mengolah sawah. Dikeruk hati-hati nasi bagian bawah, baru lauknya belakangan ditambah. Gunung sebagai sumber mata air, tetap dikenang sebagai penyubur bersama tanah. Ini manifestasi dari prinsip memayu hayuning bawana, demi kelestarian dunia yang indah.

Bagi yang profesinya bukan petani, mungkin ini dikatakan mengada-ada. Malah ada yang mengatakan agama, bukan budaya.

Tumpeng, "yen metu, kudu luwih mempeng". Tumpeng adalah lambang etos kerja petani. Ia makin menumbuhkan tekad untuk meningkatkan produktivitas. Merekalah pejuang yang bertanggung jawab terhadap kesediaan pangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun