Mohon tunggu...
Bambang Srijanto
Bambang Srijanto Mohon Tunggu... -

pemerhati sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Mataku Memerah Setelah Gerhana Matahari

9 Maret 2016   09:14 Diperbarui: 9 Maret 2016   09:52 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini ada pengalaman saya ketika terjadi gerhana matahari tahun 1983, kalau tidak salah terjadi pada tanggal 11 Juni 1983. Saat itu saya sedang naik ke kelas I SMA. TIdak seperti sekarang ini, saat itu pemerintah benar-benar over proteksi. Masyarakat dilarang melihat langsung gerhana matahari secara langsung dengan ancaman buta. Bahkan di Jawa Tengah ada anjuran untuk segera masuk rumah ketika bunyi sirine atau kentongan dibunyikan tanda gerhana matahari telah dimulai. Bisa dibayangkan jumlah orang yang melakukan sholat gerhana matahari di masjid atau mushola pada waktu itu akibat rasa takut keluar rumah..

Waktu itu saya termasuk yang tidak melaksanakan sholat gerhana matahari. Bukan karena takut keluar rumah akibat anjuran pemerintah, tetapi dikarenakan saya melakukan pengamatan terhadap respon tumbuhan putri malu. Seperti kita ketahui daun putri malu termasuk salah satu daun yang sensitif terhadap cahaya dan gerakan. Kebetulan di depan rumah ada kanal kecil dan di pinggirnya terdapat tumbuhan puti malu. Terus terang saya sudah merencanakan hal ini beberapa waktu sebelumnya. Beberapa hari sebelumnya saya amati daun putri malu di saat waktu senja, ternyata daun tumbuhan tersebut menguncup! Apakah ketika terjadi gerhana matahari, daun - daun itu juga menguncup? inilah rasa penasaran saya yang akan terjawab ketika terjadi gerhana matahari total.

Hasil pengamatan saya, ketika matahari mulai meredup, ternyata daun putri malu juga mulai menguncup. Di tengah-tengah keasyikan mengamati respon daun putri malu, lewat lah ibu tercinta menuju masjid untuk melaksanakan sholat gerhana matahari. Naluri ibu yang sangat menyayangi anaknya, begitu melihat saya di luar rumah, beliau langsung memarahi saya. beliau meminta saya untuk segara masuk rumah. Saya yakin nasihat ibu tersebut bukan karena benci tetapi dilandasi rasa sayang agar keselamatan mata saya terjaga. Waktu bertemu ibu, gerhana belum mencapai puncaknya. Karena rasa hormat dan patuh pada sang ibu, saya menuruti perintah ibu. Betapa sedihnya hati saya karena belum terlaksana melihat fenomena kuncupnya daun putri malu secara penuh ketika gerhana matahari total telah terjadi dengan sempurna..

Setelah sempat melihat matahari tertutup bulan secara total dengan mata secara langsung-meski hannya beberapa saat-, saya langsung masuk kamar. Menangis karena merasa berdosa akibat dimarahi oleh ibu tercinta dan tentunya sangat sedih karena tidak bisa melihat fenomena langka yakni melihat kuncupnya daun putri malu secara sempurna. Akibat menangis itulah mata saya menjadi merah, sehingga sempat membuat anggota keluarga lainnya merasa khawatir jangan-jangan terjadi kerusakan di mata saya akibat melihat gerhana matahari total..

Mungkin banyak ilmuwan pada waktu itu atau saat ini tidak banyak yang memperhatikan fenomena ini..

Itulah kenangan ketika terjadi gerhana matahari total di tahun 1983...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun