I. PendahuluanÂ
Di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional, seorang ibu rumah tangga bernama Ibu Ani harus rela mengantre berjam-jam demi mendapatkan gas elpiji 3 kg. Keringatnya bercampur dengan harapan, namun tak jarang ia harus pulang dengan tangan hampa. Pemandangan ini adalah potret buram dari krisis gas elpiji yang tak kunjung usai.
Sekitar 80% rumah tangga di Indonesia bergantung pada gas elpiji 3 kg sebagai sumber energi untuk memasak (Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM). Kebijakan gas elpiji di Indonesia mengalami pasang surut, mulai dari perubahan harga, alokasi subsidi, hingga wacana konversi energi. Namun, perubahan ini sering kali berujung pada krisis yang menyengsarakan masyarakat.
Mengapa regulasi yang seharusnya mensejahterakan rakyat justru menjelma menjadi bencana?
II. Analisis Kebijakan dan Implementasi
Elpiji hadir sebagai solusi energi terjangkau sejak era konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2007. Subsidi elpiji bertujuan untuk melindungi daya beli masyarakat miskin (Sumber: ESDM). Pemerintah memiliki berbagai alasan untuk mengubah kebijakan, seperti defisit anggaran, tekanan global, atau komitmen transisi energi. Namun, seringkali perubahan ini tidak sinkron antara kebijakan pusat dan daerah.
Pada tahun 2023, pemerintah berencana untuk mengurangi subsidi elpiji secara bertahap. Namun, rencana ini menuai protes dari masyarakat karena dianggap memberatkan ekonomi mereka (Sumber: Berita media massa). Distribusi elpiji seringkali tidak merata, menyebabkan kelangkaan stok dan antrean panjang. Sosialisasi yang minim dan kurangnya persiapan infrastruktur pendukung juga menjadi masalah.
Di beberapa daerah, masyarakat harus mengantre sejak subuh untuk mendapatkan gas elpiji. Bahkan, ada yang terpaksa membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga eceran tertinggi (HET) (Sumber: Wawancara dengan warga).
III. Dampak Sosial dan EkonomiÂ
Keluarga miskin harus mengalokasikan anggaran lebih besar untuk membeli elpiji, mengurangi alokasi untuk kebutuhan lain seperti makanan dan pendidikan. Pedagang kecil (PKL) dan UMKM yang bergantung pada elpiji terancam gulung tikar karena biaya produksi yang meningkat.
Kasus kematian akibat kelelahan mengantre atau penggunaan alternatif berbahaya seperti kayu bakar menjadi ancaman nyata. Peningkatan risiko kecelakaan akibat penggunaan tabung elpiji ilegal atau tidak standar juga perlu diwaspadai.
Protes warga dan kritik dari aktivis/LSM adalah bentuk ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Jika tidak ditangani dengan serius, hal ini dapat memicu destabilisasi sosial.
IV. Kritik terhadap Proses RegulasiÂ
Kebijakan seringkali dibuat tanpa melibatkan suara masyarakat rentan. Minimnya kajian dampak sosial juga menjadi masalah. Kebijakan yang reaktif dan tidak berbasis data jangka panjang menunjukkan adanya politik jangka pendek. Tarik-ulur kepentingan antara pemerintah, distributor, dan pelaku pasar juga memperparah masalah.