Mohon tunggu...
bambang pharmasetiawan
bambang pharmasetiawan Mohon Tunggu... -

Cuman guru biasa di bumi ganesha di lembah parahyangan nan sejuk, dan sedang mencoba menganalisa masalah-masalah yang menyangkut pendidikan, karena melalui pendidikanlah yang bisa membuat bangsa ini cerdas dan bangkit kembali

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bagaimana Kemendikbud dan “Anaknya” di Era Jokowi?

14 September 2014   00:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:46 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Harus diakui bahwa kementrian ini cukup besar jangkauannya untuk mendidik SDM masa depan bangsa. Sewaktu masih bernama Depdikbud, Mendikbud saat itu pernah memiliki “anak” Menteri Muda untuk bidang olah raga dan pemuda, sebelum akhirnya sang anak besar menjadi Departemen tersendiri. Depdikbud pernah “bercerai” sehingga menjadi Departemen Pendidikan (Nasional) dan sang belahan hidupnya yaitu Kebudayaan nyantol dengan Departemen lain. Beberapa tahun belakangan akhirnya mereka “rujuk” kembali dan jadilah Kemendikbud. Berpisahnya Kebudayaan harus jujur diakui adalah kemunduran, bergabungnya Kebudayaan dengan Pariwisata hanyalah menjadikan Kebudayaan sebuah komoditi belaka. Padahal derajat Kebudayaan harusnya jauh lebih dari itu, karena budaya menentukan musnah dan tidaknya suatu peradaban manusia. Untunglah para penentu kebijakan Republik kita tersadar sehingga “rujuk” kembali Kebudayaan dengan Pendidikan.

Saat ini kembali merebak suatu wacana untuk “menceraikan” Pendidikan dan Kebudayaan menjadi 3 (tiga) potong yaitu Pendidikan Dasar & Menengah, Pendidikan Tinggi & Riset, dan ………………. Kebudayaan …. kemanakah engkau akan berlabuh? Wacana ini sebenarnya sudah berkembang sejak tahun lalu ketika ada keinginan memisahkan Pendidikan Tinggi dengan kedua adiknya yaitu Pendidikan Dasar & Menengah dengan alasan agar supaya Pendidikan Tinggi lebih leluasa geraknya dalam bersaing dengan negara lain dan juga agar pendidikan tinggi lebih “dekat” dengan kebutuhan industri dan jasa yang terkini. Dan akhirnya penuh pro dan kontra yang terus berkembang hingga kini.

Singkat kata, penulis ingin mengajak semua untuk merenungkan apa perlu kita harus bongkar lagi Kemendikbud. Apa tidak lebih baik Kemendikbud tetap dipertahankan, hanya saja “pekerjaannya” dipecah dan diberikan kepada ahlinya. Sebagai contoh perbaikan dan pembangunan sekolah diserahkan penuh kepada daerah (sarana dan prasarana) dan/atau PU. Kemendikbud hanya QC saja. Dana-dana riset serahkan sepenuhnya pada Kemenristek, termasuk beasiswa-beasiswa (toh Kemenkeu terbilang cukup berhasil dengan LPDP nya). Jadi Kemendikbud direformasi cukup mengurusi software pendidikannya dan kebudayaan saja. Kurikulum harus beres dan jangan gonta-ganti coba-coba terus, kami lelah dengan penerapan kurikulum 2013 ini yang tak kunjung usai permasalahannya. Kurikulum pendidikan tinggi harus mau fleksibel kurikulumnya mengikuti perkembangan jaman, alias tidak kaku dan bersifat kolot. Situs-situs macam Gunung Padang, Trowulan, dll segera dibenahi termasuk semua museum (Kemenristek jangan pelit dengan riset kebudayaan seperti ini jika Kemendikbud meminta). InsyaAllah Pendidikan dan Kebudayaan dapat maju dengan pesat dan tidak perlu “diceraikan” lagi. Mari kita berpikir dengan cermat dan hati-hati untuk memutuskan ini karena ingat pepatah pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri.

Salam Pendidikan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun