Sambil merenung setelah berlebaran, mari kita kupas lagi beberapa pekerjaan rumah yang ada bagi pemerintahan baru nantinya,
MASALAH MENDENGAR SUARA RAKYAT
Terlepas bahwa sengketa Pilpres masih berlanjut ke ranah hukum di MK, maka kalau kita telusuri banyak tulisan di kompasiana ini membicarakan siapa yang pantas duduk di kabinet Jokowi-JK. Baik usulan dari berbagai organisasi, partai dan, bahkan, usulan rakyat ditampung untuk dipertimbangkan tentunya. Hanya saja setelah satu partai pendukung koalisi mengutarakan tagihan “jatah” maka riuh rendahlah silang pendapat. Disini penulis bertanya-tanya, apakah jabatan menteri itu sebuah amanah (yang sangat berat untuk di emban) ataukah sebuah job/pekerjaan yang harus dikejar untuk mencapai target penghasilan (maaf !). Penulis tidak akan membahasnya lebih lanjut. Disini penulis hanya terfikir adanya suara rakyat di Jakarta (kalau tidak salah Halo Jakarta), kenapa tidak nantinya dikembangkan Halo Indonesia atau Halo Nusantara yang bahkan bisa diperluas menjadi bagian dari “west wing” (kalau ada lho) kantor Presiden. (catatan, west wing adalah salah satu bagian terpenting dari gedung putih). Jadi suara rakyat merupakan kontrol dari berjalannya pemerintah. Itu bisa berbentuk laporan kejadian, usulan, dan bentuk komunikasi lain antara presiden dan rakyatnya. Dengan demikian dia bisa mengetahui kinerja jajarannya termasuk para menterinya dari suara rakyat tanpa dikebiri. Dengan demikian, bentuk pemerintahan yang transparan dapat terwujud dengan baik, dan suara rakyat berfungsi sebagai kontrol kinerja. Jadi kedepan mau menteri jatah parpol, jatah profesional, atau jatah apapun selalu terpantau kinerjanya oleh rakyat. Hal lain, pemerintah bisa melaporkan hasil kerjanya secara transparan via situs untuk dikomentari rakyat. Bentuk kontrol inilah yang segera harus dibuat pada 100 hari pertama pemerintahan.
MASALAH PERJALANAN MUDIK LEBARAN
Masalah ini adalah masalah yang dari tahun ke tahun tetap kambuh. Kalau kita perhatikan tahun ini kemacetan semakin parah seiring dengan permasalahan pada kondisi jembatan dan kondisi jalan (dan permasalahan ini sepertinya dengan berbagai varian muncul juga di tahun-tahun sebelumnya). Kalaulah kita menghitung waktu saat pelantikan di bulan Oktober 2014 dan saat mudik lebaran (bisa dibilang pergerakan manusia secara masif direntang 2 minggu) sekitar pertengahan Juli 2015, maka pemerintahan baru hanya punya waktu 9 bulan saja untuk membenahi infrastruktur untuk pulang kampung. 100 hari pertama ada baiknya dilakukan identifikasi mana jalan yg mutunya kurang baik atau masih sempit, juga mana jembatan-jembatan yang sudah harus diperbaiki bahkan diperlebar. Mana yang bisa langsung dikerjakan harus mulai dikerjakan, ada baiknya pemerintah memasang target infrastruktur harus siap H-90. Sehingga sisa 90 hari bisa diisi dengan perbaikan minor sehingga saat hari H perjalanan bisa lancar tanpa terganggu gangguan infrastruktur. Infrastruktur disini adalah infrastruktur darat, baik itu jalan kendaraan maupun jalan kereta api. Yang harus difahami, kemacetan bukan saja menimbulkan stres semata, tapi berapa juta rupiah hasil pembakaran BBM terbuang percuma dan hanya menimbulkan polusi. Dalam 100 hari pertama itu pulalah strategi mudik memanfaatkan sarana transportasi laut dan udara harus dimaksimalkan juga untuk mengurangi beban berlebihan melalui jalan darat.
Salam Pendidikan
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H