Mohon tunggu...
bambang priantono
bambang priantono Mohon Tunggu... -

Saya seorang multiplyer, dan saat ini mengajar bahasa Inggris disebuah lembaga pendidikan satu tahun yg berpusat di Malang, tapi saya ditempatkan di Semarang, Jawa Tengah. Akun multiply saya sederhana, sama dengan nama akun saya disini.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kota Impian

12 September 2011   23:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:01 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota impian
Kota ini yang menjadi idaman bagi setiap penduduknya, dimana kota itu memberi rasa aman, nyaman, bersih, tertata rapi bila perlu artistik, dengan tingkat polusi yang tidak parah-parah amat (angka pencemaran minimal), serta sarana prasarana yang mendekati titik ideal plus menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Kota semacam itu yang menjadi idaman bagi siapa saja. Ibaratnya ada gula (gula asli bukan biang gula), akan dirubung semut.

Bayangkan, setiap tahun setelah libur lebaran berapa banyak warga pendatang yang muncul di kota anda? Misalnya saja Jakarta, pulang satu nanti datang bawa 2 bahkan 5 orang. Sementara di Surabaya sendiripun jumlah pendatang yang membanjiri kota Buaya ini sudah mencapai 100 ribu orang setelah hari Raya. Semuanya mengadu nasib untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Lebih-lebih di Jakarta, seolah semua impian dan harapan bertumpu dikota yang semakin penuh sesak dengan belasan juta orang disiang hari. Dengan kondisi yang macet, serta kian tidak 'manusiawi'. Meskipun mungkin kaum miskin kota kian membludak, namun keinginan untuk berpindah ke Jakarta tetap tidak surut, malah justru bertambah.

Kota impian seperti Jakarta makin sesak dan bahkan sebenarnya sudah 'tidak layak' lagi menjadi tumpuan. Namun sayangnya, kebijakan sentralisasi dimasa lalu mengakibatkan kota-kota selain Jakarta 'kurang menarik' sehingga semua-mua diukur dari Jakarta. Hitungan sukses juga diukur dari seberapa berhasilnya seseorang menaklukkan Jakarta. Padahal dengan mengacu pada pasca 1998 dimana desentralisasi atau dengan nama lain Otonomi daerah, investor bisa langsung menuju daerah tanpa melalui pusat.

Sebenarnya banyak kota-kota yang bisa menjadi pesaing Jakarta, namun belum secara mutlak demikian. Dampak sentralisasi itu masih terasa. Sama waktu saya ditanya tentang tempat kerja saya...pusatnya dimana? ketika saya jawab Malang, orang-orang seolah tidak percaya..disangkanya pusatnya di Jakarta. Oh no!!! Apa pusat itu selalu di Jakarta? Tentu tidak kan? Dan hal ini harus dirobah! Kota-kota di daerah juga harusnya bisa menggali potensinya sendiri-sendiri bahkan bisa lebih manusiawi dibanding Jakarta.

Contoh saja, Surabaya ketika saya datang terakhir beberapa bulan lalu sudah sangat berbeda. Lebih banyak tamannya dibanding selama saya bermukim disana selama 10 tahun. Tentunya bukan karena beliau seorang wanita, tapi karena perencanaannya yang lebih baik sehingga Surabaya terlihat lebih hijau. Sedangkan kota Surakarta dibawah pimpinan Joko Widodo juga terlihat keberhasilannya menata pedagang kaki lima tanpa kekerasan, tanpa penggusuran, bahkan lebih mengutamakan vitalisasi serta peremajaan pasar tradisional dibanding membangun Mall-Mall megah yang dia tolak sehingga sempat berseteru dengan Gubernur Jawa Tengah. Intinya sangat nyaman untuk jalan-jalan ke kota Solo.

Sementara untuk kota Malang, menurut saya pribadi juga menjadi jujugan bagi pelajar dari berbagai wilayah di Indonesia (termasuk mancanegara). Revitalisasi alun-alun kota depan Masjid Jamik yang sempat menjadi jantung kekumuhan kota selama tahun 90an, kini menjadikan alun-alun menjadi pusat rekreasi yang nyaman meskipun masih ada segelintir pedagang asongan dan pengamen topeng monyet. Juga di kota Batu, monumen apel dijantung kotanya juga direvitalisasi menjadi zona rekreasi, sebagaimana citranya sebagai kota agrowisata dan pusat rekreasi.

Lahan hijau juga sangat penting untuk terbentuknya kota impian. Karena bisa menjadi area resapan air yang sangat vital manakala musim kemarau tiba. Bukan melulu bangun apartemen, mall dan bangunan-bangunan tidak penting...kenapa bangunan-bangunan kuno tidak direvitalisasi saja agar tetap fungsional, namun bisa jadi daya tarik lainnya meski bangunan kuno diidentikkan dengan yang horor-horor.

Idealnya sih begitu. Kota-kota di Indonesia ini perlu berbenah agar bisa menjadi kota impian sehingga mungkin tidak usah repot-repot migrasi ke Jakarta yang sudah penuh sesak, karena masih ada kota terdekat dimana lapangan pekerjaan bisa didapat. Semua ini tergantung pada pemerintah daerah bersangkutan dalam menggaet penanam modal yang dapat mengembangkan kota, serta mempromosikan kotanya sehingga menarik warga sekitar. Namun tidak lupa aspek keamanan, infrastruktur (air, listrik, jalan raya, transportasi, pemukiman, lahan hijau) ditata sedemikian rupa sehingga predikat kota impian yang manusiawi diperoleh.

Semoga saja..

Bambang Priantono
12 September 2011
12 Syawal/Sawal 1432/1944
Majapahit, Semarang

Sumber : http://bambangpriantono.multiply.com/journal/item/3232

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun