Mohon tunggu...
bambang priantono
bambang priantono Mohon Tunggu... -

Saya seorang multiplyer, dan saat ini mengajar bahasa Inggris disebuah lembaga pendidikan satu tahun yg berpusat di Malang, tapi saya ditempatkan di Semarang, Jawa Tengah. Akun multiply saya sederhana, sama dengan nama akun saya disini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pawai Dugderan, Pawai Kearifan Lokal Kota Semarang

31 Juli 2011   16:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi Semarang mengadakan pawai budaya. Hari ini tanggal 31 Juli 2011 diselenggarakan pawai dugderan yang merupakan tradisi tahunan khas Semarang dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi dugderan ini bermula dari Bupati Semarang bernama Raden Tumenggung Purboningrat pada tahun 1881 yang ingin semua masyarakat Semarang berkumpul untuk mendengarkan pengumuman bulan puasa, dan sekaligus menyatukan mereka dalam satu penetapan yang sama. Kata dugder sendiri berasal dari kata dug (suara beduk) dan der (suara meriam atau mercon). Informasi yang saya dapat sehari sebelumnya adalah pawai dugder akan mulai dari Jalan Pemuda, tepatnya Gedung Balaikota Semarang pada pukul 13.00 WIB. Sayapun sudah siap-siap sedari jam 10 pagi di lokasi agar tidak terlewatkan sedikitpun acara itu. Jam 10 pagi beberapa mobil hias bertemakan Warak Ngendog sudah mulai berdatangan. Mobil-mobil yang dihias seindah mungkin ini berasal dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari sekolah, kecamatan hingga paguyuban seni serta pesantren yang turut andil dalam arak-arakan dugder ini. Saya tidak sempat menyaksikan Dugderan tahun 2009 dan 2010 karena penyelenggaraannya yang jauh di Masjid Agung Jawa Tengah. Namun berhubung lokasi berangkatnya dugder tahun ini dekat dengan kos-kosan, jadilah saya bela-belain untuk menuju TKP. Biarpun cuaca cerah plus super panas, tapi semangat tetap 45. Dari hanya beberapa mobil hias itu, kemudian berdatangan lagi mobil-mobil hias lain yang berasal dari Kecamatan Semarang Utara, SMK Negeri sekian, Kecamatan Gayamsari, Banyumanik, Mijen hingga Madrasah Aliyah juga ikut berpawai. Ada yang berpakaian ala Reog Ponorogo, bermodel ala Kenang dan Denok Semarang, hingga Warak Ngendog dari bahan batik dari Kecamatan Semarang Tengah. Seiring jam, dan kendati cuaca semakin panas, masyarakatpun berdatangan satu persatu menuju lokasi sehingga Jalan Pemuda dan sekitar balaikotapun menjadi padat lautan manusia. Saya sendiri berada didalam lokasi balaikota untuk melihat persiapan demi persiapan yang dilakukan. Diiringi lagu-lagu Qosidah ibu-ibu dari kelompok rebana moderen Nuurun Nisaa yang berasal dari Puri Dinar Elok Tembalang, suasana makin meriah. Makin heboh lagi, tatkala rombongan dari pawai Bukan Bhe Kunpun turut memeriahkan, bahkan sempat berjoget dangdut mengiringi lagu rebana yang dimainkan ibu-ibu Nuurun Nisaa itu. Kebetulan lagunya memang bertema dangdut jadi mereka bergoyang juga. Para tamupun mulai satu-satu berdatangan dengan berpakaian adat, termasuk Pak Walikota Semarang yang berperan sebagai Bupati Semarang dalam acara Dugderan ini. Pukul 13.00 WIB acara dimulai dengan pertunjukan dari Akademi Kepolisian yang menggabungkan alat musik perkusi dari Aceh (rebana), Banten (gendang), Jawa Barat (angklung), Melayu (akordeon) dan Sulawesi Utara (kulintang). Lagu yang dimainkan juga lagu-lagu yang sedang populer seperti Keong Racun yang dimainkan secara rancak. Lantas setelah pertunjukan dari Akademi Kepolisian itu selesai, dilanjutkan dengan pertunjukan tari kolosal yang mengambil judul Tari Dugderan. Tarian ini menggambarkan suasana pawai dugderan, diiringi gamelan Jawa laras Pelog Slendro dan gambang Semarangan. Para penari seolah ingin mempertunjukkan kebolehannya menari di depan audiens, diiringi arak-arakan warak ngendog yang atraktif yang saking atraktifnya sampai ketika bertumbukan, kepala salah satu warakpun terlepas. Dua orang berkostum ala warakpun juga menjadi bagian dari tari kolosal berdurasi sekitar 10-15 menitan ini. Mereka tetap menari dengan semangat meski dibawah teriknya sinar matahari. Alhamdulillah, posisi saya cukup strategis untuk mengambil gambar. Setelah tari kolosal ini dan semua peserta karnaval sudah berbaris rapi (kecuali mobil hias yang ada diluar), acara puncak Dugderan dimulai. Diawali dengan pembacaan laporan oleh ketua panitia dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kepada Walikota Semarang dalam bahasa Jawa halus, yang berisi laporan pertanggungjawaban kegiatan Dugderan tahun 2011 yang mengambil rute Jl Pemuda-Masjid Kauman (Pasar Johar)-Jalan Arteri hingga Masjid Agung Jawa Tengah. Kemudian ketika selesai laporan dibacakan, saya jadi heran..lha kok biar pakai jarik kebaya jalannya mirip upacara bendera gitu? Hehehehee… Pak Walikota kemudian memberikan sambutan. Karena menggunakan bahasa Jawa Halus (sesuai tradisi), lebih kurang isi pidatonya adalah bermula dari keinginan Tumenggung Purboningrat untuk menyatukan masyarakatnya yang berbeda-beda dalam penetapan puasa, maka dimunculkanlah tradisi Dugderan ini. Disamping itu juga ada penekanan akan pentingnya pemertahanan kearifan lokal sebagaimana slogan Dugderan tahun ini yakni Gelar Kearipan Lokal Kota Semarang. Acara kemudian diakhiri dengan doa, dan puncaknya ketika Walikota memukul bedug sebagai tanda diberangkatkannya arak-arakan Dugderan tahun 2011. DUG sudah berbunyi, tapi asemnya saya ketutupan para kuli kamera pada saat Pak Wali memukul bedug. Tapi saya puas, karena bisa menyelinap lebih dalam..disangka wartawan mungkin ya. Arak-arakan karnaval Dugder diawali dengan marching band dari kepolisian, kemudian disusul rombongan paskibra yang membawa mayang, disusul rombongan dari beberapa SMA termasuk yang berbusana ala Solo Batik Carnival, bendi dari para petinggi kota Semarang hingga yang terakhir adalah mobil-mobil hias berbentuk Warak Ngendog yang janur-janur serta bunga hiasnya diambili oleh para penonton. Saya sampai sekarang tidak habis pikir, untuk apa janur-januran dari kertas itu diambil, apalagi saya yang posisinya terdepan selalu dimintai tolong untuk mengambil bunga-bunga hias atau janur tadi. Hahahahaha.. Kasihan bagi penonton yang stand by di Masjid Agung Jawa Tengah, pastinya sudah kehabisan jatah tuh. Intinya, Pawai Budaya Dugderan kali ini berlangsung meriah. Hanya sayang, ketertiban warga sangat kurang. Mereka merangsek maju sampai memakan ¾ jalan sehingga laju arak-arakanpun acap tersendat. Ditambah lagi tadi, budaya mengambil janur dan bunga hias ini perlu juga dihilangkan secara bertahap, karena menyangkut estetika dan keindahan itu sendiri. Bagaimana bisa indah bila mobil hias itu sudah carut marut hiasannya karena diambili?  Selain itu promosi untuk acara ini juga semakin digalakkan, karena jika digarap dengan serius, maka acara tahunan ini akan ditunggu-tunggu juga oleh wisatawan mancanegara. Saya sangat bangga dengan keragaman dan disitulah saya bisa menyaksikannya, dimana seni budaya dari berbagai etnis melebur jadi satu wadah, dan seharusnyalah harmonisasi itu menjadi wajah asli bangsa kita, bangsa Indonesia. Bambang Priantono Minggu Kliwon jelang Senin Wage 31 Juli 2011 jelang 1 Agustus 2011 29 Sya’ban/Ruwah 1432H/1944 jelang 1 Ramadan/Pasa Semarang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun