Upaya elegan sudah dilakukan. Asa sudah dilambungkan. Dan doa pun sudah terus dilangitkan. Namun, dalam tiga bulan ini, hasilnya masih sangat samar. Aryati mau pun Maria, maminya, belum bisa menebak arah hati Andreas Vidya Tama.
Pendeta muda ganteng itu masih dingin-dingin saja. Memang ia makin akrab dengan Maria. Namun, sejauh ini obrolan mereka sama sekali tidak menyentuh soal asmara. Topiknya masih hal-hal yang umum-umum saja. Misalnya, soal pandemi, politik, pendidikan, prospek bisnis, gereja dan yang lainnya. Pendeknya, tidak ke urusan privat keduanya.
Kelas "teologi keluarga" yang diprakarsai Aryati memang kian bergairah. Pemahaman dan pengenalan para pembelajar akan Kristus juga sudah makin bertambah-tambah. Bulan pertama, pembelajar yang dari luar cuma Lulu dan Bella. Sekarang sudah menjadi lima orang remaja. Bahkan Lulu dan Bella sudah ikut katekisasi persiapan baptisan di gerejanya.
Artinya apa? Artinya kegiatan istimewa itu, telah menunjukkan progresnya. Ini yang sangat membahagiakan Aryati dan maminya. Juga eyang putri dan eyang kakungnya. Sayangnya "agenda sisipan" Aryati, sekali lagi, masih belum menggapai harapannya.
"Kayaknya Om Andre emang kagak pengin nikah lagi, ya Mam?"
"Bisa iya, bisa juga tidak," jawab Maria. "Atau beliau masih fokus pada pelayanannya. Kan beliau baru saja bertugas di gereja kita? Memang kenapa sih?"
"Gak apa-apa. Kan lebih asyik kalau punya pedamping? Bisa ngebantu dalam pelayanan.."
"Sebenernya harapanmu pada Om Andre itu yang kayak apa, sih?"
"Terus terang, ya Mam! Sebenernya aku pengin jadi anaknya....!" Jawab Yati malu-malu.
"Berarti kompak dong?"
"Kompak apanya?"