"Memang komunikasi kita pada mereka, kan lebih banyak pakai ponsel, Neng? Kalau perlu bantuan apa pun, kan juga lewat telepon?"
"Kalau soal minta bantuan, aku kagak masalah. Tapi kalau sudah mulai nanya-nanya soal yang privat, aku amat kagak suka.."
"Beliau nanya tentang apa saja sih?" kejar Windy.
"Tentang kuliahku. Tentang keluarga ortuku. Tentang hobi dan cita-citaku..."
"Kalau soal itu, ya gak apa-apa to, Neng! Itu tanda, bahwa beliau menghargai kamu. Beliau pengin akrab seperti pada anak-anaknya sendiri...."
"Bukan hanya itu! Tapi nanya juga tentang pacar. Aku sudah punya atau belum? Apa urusannya dengan dia?"
"Itu pun ya wajar-wajar saja, Neng! Dibuat santai saja, Nona Cantik....!"
"Dia itu kan sudah uzur, Kak! Kalau yang nanya Bu Broto, bolehlah. Tapi kalau dia, itu kegenitan namanya!"
"Akh jangan under estimate dan suudzon dulu! Di lingkungan RW sini, beliau itu termasuk keluarga yang terpandang, lho! Gak mungkinlah akan macem-macem padamu.."
Bagi Windy, sikap Pak Broto terhadap Ayu masih lumrah dan manusiawi. Masih dalam batas toleransi. Sebab itu, sambil melihat perkembangannya, ia meminta Ayu untuk bersabar dulu barang seminggu.
Sejatinya, Ayu Astuti bukanlah seorang gadis yang arogan, judes atau temperamental. Sesungguhnya selama ini, gadis cantik itu amat santun. Ia selalu menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap semua kaum sepuh. Tapi kenapa, terhadap Pak Broto, sekarang Ayu berubah menjadi begitu sensitif? Sepertinya ada semacam trauma yang menghantuinya.