Kita layak bersyukur karena jumlah penduduk miskin berkurang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin Indonesia pada Maret 2019 sebanyak 25,14 juta orang. Angka itu menurun 810 ribu penduduk dibanding periode yang sama, tahun sebelumnya. Penduduk miskin hingga Maret 2019 tercatat 9,41 persen, atau menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang 9.82 persen dari jumlah penduduk (CNN Indonesia, 15/07/2019).
Povinsi Papua menjadi provinsi termiskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan mencapai 27,53 persen. Sementara DKI Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah yakni 3,47 persen. Itu artinya berbagai program pemerintah untuk mengurangi kemiskinan ada hasilnya. Ada progresnya, meski belum bisa memuaskan semua pihak.
Saya sedang tidak mengkritisi kelebihan dan kekurangan program  pemerintah dalam mengurangi kemiskinan. Saya sedang tidak memprotes berbagai ulah para oknum yang memanfaatkan program tersebut, demi menangguk rejeki ilegal bagi kantongnya sendiri. Tapi saya hendak mengatakan  -- bahwa kita tak bisa membebankan semua masalah kemiskinan hanya ke pundak pemerintah saja.
Memang fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Itu amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dengan segala keterbatasannya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah selama ini telah mengemban amanat tersebut. Tapi faktanya, masih banyak aspek dari kemiskinan itu sendiri yang belum tersentuh dan tertangani dengan baik.
Harap dipahami, Â masalah kemiskinan bukan semata-mata masalah penyediaan anggaran yang cukup . Bukan semata soal pemberian bantuan pada si miskin. Tapi juga soal bagaimana mengedukasi dan melatih para warga miskin agar mereka bisa memberdayakan dirinya sendiri. Juga yang sangat penting, adalah soal bagaimana membentuk mental dan mindset hidup mereka. Sehingga mentalnya bukan lagi mental "tangan di bawah" atau "peminta-minta", melainkan mental petarung atau pejuang kehidupan yang tangguh.
Tadi saya katakan, bahwa semuanya itu tak bisa kita bebankan sepenuhnya hanya ke pundak pemerintah saja. Kita semua seluruh komponen bangsa, sesuai perannya masing-masing, harus ikut bertanggung-jawab dalam memerangi kemiskinan. Terutama oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bukankah Tuhan sendiri pun tak akan mengubah nasib seseorang, hingga mereka mengubah nasibnya sendiri?
Jadi ketimbang hanya menunggu-nunggu, mengharap-harap dan menuntut-nuntut pihak lain, Â yang paling sehat dan bertanggung-jawab, ialah menuntut diri sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Agung, seorang pemuda miskin yang telah sukses menaklukkan kemiskinannya.
Agung adalah anak tunggal dari pasangan Trimo dan Gemi. Dalam keluarga banyak orang, anak tunggal biasanya sangat dimanjakan. Tapi bagi Agung, perlakuan istimewa seperti itu tak pernah ia rasakan. Bukan karena ayah ibunya tak sayang kepadanya. Tapi lebih karena kemelaratan yang telah lama mencengkeram kehidupan mereka. Maklum, Trimo cuma seorang buruh tani. Sedang Gemi cuma tukang cuci dan seterika baju pada keluarga Pak Lurah.
Di kampungnya, banyak penduduk yang masih berkategori keluarga pra sejahtera. Anak-anak mereka rata-rata hanya tamatan sekolah dasar saja. Agung sendiri bisa terus sekolah sampai lulus SMA. Bukan karena dibiayai oleh kedua orang tuanya, tapi oleh kemurahan hati keluarga Pak Lurahnya.
"Aku memang anaknya orang melarat. Tapi aku nggak sudi hidup melarat terus!" Itulah janji Agung kepada dirinya sendri. Dan janji atau tekad itu, secara bertahap memang telah ia penuhi. Sekarang kehidupan Agung jauh di atas kehidupan teman-teman terdekatnya.
Ia sudah bisa merenovasi rumah orang tuanya. Dari bangunan sederhana berdinding gedek (anyaman dari bilah-bilah bambu) menjadi dinding dari batu bata. Dari lantai plester semen sederhana menjadi lantai keramik. Luas bangunannya pun lebih luas dari sebelumnya. Sehingga menimbulkan perasaan lebih nyaman dan aman. Ada sedikit kebanggaan ketika menerima tamu yang berkunjung ke rumahnya.