Sesungguhnya saya sudah cukup lama mendengar nama Kompasiana. Namun selama itu pula, saya belum tertarik untuk menikmati artikel-artikel yang ditayangkannya. Tapi entah karena alasan apa, pada bulan Desember 2018, secara iseng saja tiba-tiba saya membaca sebuah cerpen di Kompasiana. Judulnya apa dan penulisnya siapa, saya pun sudah lupa.
Lalu beberapa hari berikutnya, secara berturut-turut, saya membacanya lagi. Bukan hanya artikel yang berkategori fiksi saja. Tapi juga artikel dari kategori lainnya. Waktu itu kalau tidak salah, saya baca juga artikel tentang bola dan politik. Â Kebetulan ulasan-ulasan tentang politik tanah air, waktu itu sangat booming sekali. Maklum, waktu itu pas tahun dan bulan-bulan politik.
Selanjutnya, masih di bulan Desember 2018 itu juga, secara iseng pula saya mencoba mendaftar sebagai Kompasianer. Langsung diterima tanpa keribetan apa pun. Sebelumnya, saya sudah punya beberapa tulisan berbentuk cerpen di file laptop saya. Pikir saya, kenapa tulisan fiksi saya tersebut tidak dikirim saja ke media ini?
Berpikir cepat, memutuskan pun juga cepat. Maka langsung saja (dari file saya itu), satu persatu karya saya, saya kirim ke Kompasiana. Maka sejak itu, berawal dari keisengan, saya resmi berstatus sebagai seorang Kompasianer. Tentu dimulai dengan predikat Debutan. Lalu Yunior. Dan kini, pangkat saya - Kompasianer Taruna.
Sampai November 2019 (hampir 1 tahun) ini, statistik saya mencatat: Tulisan saya berjumlah 133 judul. Dari jumlah itu, yang berbentuk cerpen sebanyak 65 judul. Sedangkan tulisan yang lainnya, Â campuran dari berbagai kategori.
Dari iseng akhirnya menjadi candu. Itu benar! Karena selama setahun ini, saya memang sudah kecanduan Kompasiana. Setiap hari, saya selalu bersinggungan dengan Kompasiana. Kadang hanya untuk membaca beberapa menit saja. Tapi bisa berulang kali dalam sehari. Sedang kalau untuk menulis, saya membutuhkan waktu satu sampai dua jam. Pendeknya, tiada hari tanpa Kompasiana.
Padahal banyak yang tahu, bahwa saya ini adalah seorang pendeta yang masih aktif melayani dan memimpin sebuah gereja di Palangkaraya. Punya tugas dan kewajiban rutin yang mesti dijalankan, bahkan diutamakan. Tapi Puji Tuhan, di sela-sela kesibukan tersebut, saya masih bisa ber-Kompasiana ria tiap-tiap hari.
Selain menjadi candu, Kompasiana telah menjadi guru bagi saya. Saya bisa belajar dari banyak penulis hebat di sana. Dari para senior yang sudah menulis ribuan judul di sana. Bukan saja belajar dari kompetensi dan sudut pandang mereka. Namun belajar pula tentang semangat, konsistensi dan attitude mereka. Pokoknya bersama Kompasiana, kemampuan teknis dan non teknis kepenulisan saya, terasa semakin terasah.
Itu masih setahun kebersamaan saya dengan Kompasiana. Kalau sampai bisa lebih lama lagi. Pasti akan bisa lebih berkembang lagi. Pendeknya, dalam ukuran tertentu, Kompasiana telah memintarkan saya.
Bagaimana dengan K-Rewards? Untuk hal yang satu itu, mohon anda jangan menanyakannya kepada saya. Saya sangat tahu diri dalam soal itu. Saya belum layak menerimanya. Saya belum apa-apa. Produktifitas saya masih sangat rendah. Kualitas tulisan saya pun mungkin masih level bawah. Jadi sangat wajar, jika sampai hari ini saya belum pernah kesenggol K-Rewards.
Apa dengan begitu, saya terus akan patah arang? Ya, tidaklah! Setidaknya sampai hari ini, saya masih bersemangat untuk menulis di Kompasiana. Malah rasanya, makin hari makin jatuh cinta saja! Bahkan kalau sudah purna tugas, saya berencana akan lebih total lagi menulis di Kompasiana. Dan kalau Tuhan ijinkan, dalam waktu dekat ini, saya berencana akan menerbitkan Buku Antologi Cerpen saya.