Kemacetan, polusi dan banjir memang adalah masalah klasik dan rutin khas Jakarta. Tetapi sekarang ini, ada masalah krusial lain yang tak boleh dianggap remeh. Yakni soal sampah. Tak boleh dianggap remeh, karena jika gagal menanganinya secara cepat dan tepat, bisa menjadi 'bom waktu lingkungan'. Yang dampaknya akan sangat luas. Dalam banyak hal akan sangat mengganggu dan sangat merugikan.
Tahun lalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Isnawa Adji menyatakan, Jakarta memproduksi sekitar 7.000 ton sampah setiap hari. Dari jumlah itu, sekitar 1.900 hingga 2.000 ton merupakan sampah plastik. Hal itu dikatakannya saat menghadiri gerakan Operasi Tangkap Plastik di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Jumat, 10/8/2018). Lalu tahun ini bagaimana?
Plt Kepala Dinas LingkungaN Hidup DKI Jakarta, Andono Warih mengatakan, Ibu kota sekarang ini memproduksi 7.500 ton sampah perharinya. Dalam peluncuran program Jakarta Less Waste Initiative di JSC Hive, Kuningan, Jakarta Selatan (Kamis,12/6/2019), ia berkata: "Ya satu Borobudur kira-kira sehari. Jadi ini luar biasa. Jadi, teman-teman kita semua menghadapi situasi seperti itu."
Menurut Andono, 7.500 ton sampah (yang tumpukannya sebesar Borobudur) tersebut, mayoritas berasal dari sampah permukiman atau rumah tangga. "Data kami riset yang sudah dilakukan 60 persen dari permukiman. Kemudian 29 persen dari kawasan komersial seperti hotel dan sebagainya. Yang 11 persen berasal dari fasilitas umum." Lantas bayangkanlah saja lima tahun lagi. Nantinya per harinya tumpukannya akan sebanyak atau sebesar apa lagi?
Yang jelas, masalah sampah bukan hanya masalah pelik Jakarta saja. Kota-kota besar lainnya di negeri ini pasti akan mengalami masalah yang serupa juga. Meski sulit, kalau hanya sampah yang murni berasal dari warga masyarakat sendiri, saya percaya Pemerintah Daerah (Pemda) masing-masing masih bisa mengatasinya. Tetapi masalah akan menjadi kian parah, kalau Indonesia sampai membiarkan diri menjadi sasaran gelontoran sampah dari negara-negara lain.
Parameter kemajuan sebuah negara sekarang ini bukannya diukur dari tingkat kemapanan ekonomi, pendidikan tinggi maupun harapan hidup warganya. Tapi dari cara pengelolaan sampahnya. Sebuah negara bisa dianggap maju jika negara tersebut sukses mengelola sampahnya dengan baik. Itu tidak saja soal bagaimana penerapan teknologinya. Melainkan juga soal  bagaimana merubah gaya hidup seluruh warga masyarakatnya. Dan sekarang ini, itulah ujian berat bagi banyak bangsa di dunia ini.
Negara-negara maju seperti Perancis, Australia, Jerman dan Amerika pun merasakan 'sesak nafas' alias cukup kerepotan menghadapi masalah sampah tersebut. Akibatnya secara diam-diam, negara-negara Barat tersebut menyusupkan sampahnya ke negara-negara lain. Dengan kata lain, mereka menjadikan negara lain sebagai 'tong sampah'.
Dikabarkan sudah bertahun-tahun negara-negara itu menyusupkan sampah dan limbah B3 ke komoditas ekspor kertas dan plastik sisa (scrap). Tahun 2017, Tiongkok sudah sangat gerah dan dengan tegas menolak impor scrap bercampur sampah tersebut. Karenanya, negara-negara itu dengan gigih mencari target baru. Tujuannya ialah negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Maka seperti yang terungkap, sejak 13 Juni lalu, sedikitnya di empat pelabuhan Indonesia -- ada ratusan kontainer impor scrap plastik dan kertas. Celakanya di dalamnya bercampur dengan limbah dan sampah. Yang sangat disesalkan, bahkan yang amat menjinjak harga diri bangsa adalah bahwa itu terjadi karena ulah beberapa pihak di dalam negeri.
Karena alasan demi kelancaran bisnis, mereka dengan sengaja merelakan negerinya menjadi tong sampah. Mereka mengeluh kesulitan bahan baku jika kontainer tersebut tidak dibebaskan. Padahal faktanya, dari sejumlah kontainer yang sudah terlanjur lolos, limbah dan sampah itu  jelas-jelas tidak bisa diolah lagi. Malah di berbagai kota di Jawa Timur, gunungan sampah yang dilimpahkan ke masyarakat dalam kamuflase CSR itu,  ujungnya hanya jadi pencemar air dan tanah saja.
Maka kita pasti dan harus mendukung penuh langkah yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mereka telah merekomendasikan agar pihak Bea Cukai melakukan reekspor kembali ke negara asalnya. Dari 29 Juli -- 3 Agustus 2019, sudah ada 49 kontainer yang dipulangkan kembali. Perlakuan serupa juga akan diupayakan terhadap ratusan kontainer sampah dan limbah yang lainnya.