Kabut menggerumut di senjakala yang beku. Hati Srikandi gamang mereguk mimpi suci yang berkelindan di ranjangnya yang wangi. Gita yang disenandungkan pun kian melemah, Â kehilangan vibrasinya. Tapi syair-syairnya menyirat jerit cinta yang cidera.
Di mana keasrian purinya yang bertabur melati itu? Mengapa lentera-lentera antiknya meredup? Bukankah kekasihnya sebentar lagi menjemputnya?
"Tidak... tidak! Ia tidak akan datang malam ini!" jawab Srikandi, "Dia  telah abaikanku. Dia telah membagi hatinya dengan putri-putri di manca negari."
Mendengar itu, Rembulan sontak murka mau mendamprat Arjuna. Maka bergoncanglah dunia atas dan menggunturlah seribu petir.
Tergeragaplah pahlawan Pandawa itu dari keasyikannya mengasah pusaka. Mengasah akurasi memanahnya. Mempertajam naluri keperwiraannya. Sampai alpa mencumbu kekasihnya yang menanti.
Hai, Permadi! Lupakah kau pada prasasti berukir janji yang tertancap di dadamu? Lupakah dirimu tak hanya milik negari, tapi juga milik puanmu?
Berikutnya, Sang Arjuna dengan tersipu menjemput Srikandi. Lalu keduanya  habis-habisan menyesap madu rindu. Keduanya menyelam sampai ke dasar telaga asmara. Kemudian tertatih memugar lagi mimpi-mimpi yang pernah karam dihamtam angkara.
Akhirnya, dengan berkendara kuda bersayap, keduanya mengangkasa meraib ditelan langit. Di sana keduanya menyatu dalam kerinduan yang satu. Keringat-keringat cintanya mengkristal lalu mencurah menghujani bumi yang kerontang.
Itulah sepercik asmara carita yang sungsang.
==000==
Bambang Suwarno -- Palangkaraya, 19 Mei 2019