Kadang aku suka melayang di awan berkabut di antara liukan aksi merpati-merpati yang saling bersahut. Itu sensasi megah penuh kejut. Melambangkan kemerdekaan demokrasi yang beradab nan patut.
Aku sangat paham gerakan angin yang melintang memutar melabrak. Bersama gertakan puluhan gagak yang menggebrak. Itulah kemolekan kebebasan di angkasa raya. Simbol kedaulatan segala kawula.
Aku paham ketika Arief Budiman menggelar gerakan golongan putih di zaman orba. Karena demokrasi hanya pemanis, hanya lipstik, hanya topeng, hanya kain batik yang diracik apik. Untuk membalut nafsu kuasa menggurita. Untuk tetap tegakkan kerajaan keluarga. Maka golput adalah protes dan pilihan politik kritis.
Aku juga mafhum saat Gus Dur pun pernah menyeru golput. Karna dia punya pijakan argumen yang kuat.
Tapi kalau kini, opsi itu dikibarkan lagi, bukankah itu kemunduran yang naf? Bukankah tehnologi informasi sudah memanja nobatkan kita semua jadi pengamat pengawal dan pengawas proses demokrasi?
Sebab itu, jangan rayuku ikuti maumu. Tidakkah kau malu pada bunga-bunga itu? Pada bintang-bintang yang menggeleng menatapmu? Pada nyanyian bocah-bocah milenial yang mengkritisimu?
Dengar! Bagiku, golput adalah sikap politik yang sudah keriput. Sikap berdemokrasi yang cemberut, kalut dan mengerut. Mental politik para cecurut, penakut dan pengecut.
Sama sekali bukan cermin kegagahan, tapi bukti kerapuhan, apatisme dan kelicikan
Tak bawa berkat apapun, kecuali pengerdilan diri akut.
Maka, haramkanlah!
     ==000==