Kemewahan langit selalu teteskan aksara-aksara elok, menyusup rasuk jiwaku. Lalu melesat menyemat bait-bait puisi ke awan-awan, ke cakrawala, ke puncak-puncak bukit kehidupan.
Maka ia menggoda, merayu, menyeru, memeluk bahkan menghunjam ke setiap dada penikmatnya. Kadang gusar geram lalu mendongak terbahak saat sejuk sang bayu hembusinya. Kerap juga terbelalak penasaran atau tersenyum mengangguk aminkan
Tapi yang mencandu saat ibu-ibu cantik, bapak-bapak tampan, emak-emak ayu, dara-dara elok dan remaja milenial bisa mengecap madu-madu hikmatnya. Juga kejelitaan pesan-pesannya yang mengenyang cerahkan. Yang memandu ke muara-muara rindu
Sebab itu, biarkan aku bertutur berpuisi. Biarkan aku merenda kata mengunyah logika meramu rasa sampai menjumpa makna
Jadi sampean masih suka berpuisi? Lho, iyalah! Kenapa? Karena dengan puisi, aku bisa menari. Bisa memuji dan menguji. Bisa nasihati dan beri solusi. Bisa  mengkritisi dan menginspirasi. Bisa merasa dan dirasa
Mengapa? Karena dengan puisi, aku bisa berenang dalam kemerdekaan. Aku bisa melayang mengarungi alunan bayu di ketinggian cinta
Apa sampean bisa berdoa juga? Dengan puisi, aku pun bisa kusyuk berdoa. Tapi bukan yang mengancam dan menggertak
Dengan puisi aku bisa bercengkerama dengan pribadi-pribadi digdaya. Bisa berdoa dan bersegala
"Tapi maaf, aku tak biasa mengancam."
             ==000==
Bambang Suwarno -- Palangkaraya, 28-02-2019