"Dua orang pria dewasa yang masih menjomblo tinggal serumah, itu tidak becik lho, Le!"
"Tidak becik-nya di mana, Bu?"
"Itu bisa menimbulkan nyinyiran banyak orang yang akan melukai hatimu."
Peringatan ibu tersebut, memanggil saya untuk langsung memberi klarifikasi kepada beliau. Bukan supaya hati saya tidak terluka. Tapi supaya hati  ibu yang tidak terluka, kalau anak lelaki yang dicintainya itu berpotensi dicap orang sebagai kaum LGBT.
Sejak masih sama-sama kuliah di kota lain, saya memang sudah tinggal serumah dengan Didit di sebuah rumah kost. Sekarang pun (setelah kami bekerja di bidang kami masing-masing), saya malah tinggal bersamanya di rumah miliknya sendiri.
"Ibu, kalau Didit masih menjomblo, itu karena ia memang tak ingin menikah."
"Kok begitu?"
"Ia merasa bahwa tak lama lagi hidupnya akan segera berakhir."
"Maksudmu?"
"Karena sudah lima tahun ini ia mengidap Kronik Limfositik Leukemia."
Saya jelaskan juga, bahwa sisa hidupnya yang tinggal sedikit itu, ingin dia curahkan untuk sebanyak-banyaknya berbuat kebaikan bagi adiknya dan sesamanya. Sedang kelajangan saya, hanya karena belum ketemu yang cocok saja. Artinya, soal menikah bagi saya, hanya soal waktu saja.