Kampung Sukasuka tergeragap dan terguncang. Seminggu belakangan; ketakutan, kecurigaan dan ketidakjelasan menyelimuti setiap hati warganya. Penyebabnya adalah munculnya secara misterius sebuah seruan bunuh diri. Seruan tersebut ditulis di sebuah tembok tua (sisa reruntuhan bangunan pabrik gula warisan kolonial).Â
Tembok tersebut terletak di pinggir jalan utama kampung, bersebelahan dengan pasar besar. Karenanya, hampir semua warga yang melintas pasti dengan mudah melihat dan membacanya.
Waspadalah!!!
Kalian akan terbunuh satu persatu
Sebab itu, bersegeralah bunuh diri!
Bunuh diri lebih terhormat ketimbang dibunuh......
Itulah bunyi seruannya. Ditulis dengan cat berwarna merah darah dengan pilihan ukuran huruf  yang besar-besar  membuat tulisan itu begitu mencolok. Sangat provokatif dan intimidatif.
Kampung Sukasuka kian hari kian mencekam. Bahkan dalam tiga hari ini, telah melahirkan sikap baru di antara sesama warga. Terutama terhadap setiap orang luar yang sedang berada di kampung itu. Sikap baru itu adalah -- adanya saling mencurigai, saling mewaspadai, dan saling bersiaga -- terhadap segala kemungkinan yang bakal terjadi. Jelas itu telah merenggut dan merobek-robek rasa tenang dan nyaman warga.
Anehnya cengkeraman suasana ganjil itu, hanya terjadi mulai waktu petang dan  malam sampai dini hari saja. Ketika mentari mulai tersenyum menghangatkan tubuh bumi dengan kemolekan sinarnya di pagi hari, ritme kehidupan kampung itu kembali  berjalan normal kembali seperti biasanya. Â
Pagi, siang, dan sore normal alias wajar-wajar saja. Tapi petang dan sepanjang malam mencengkeram dan mengancam!
      ***
Begitu Pak Keppung (singkatan Kepolo Kampung) sudah tiba kembali dari ibukota, para stafnya memberikan laporan secara rinci dan kronologis tentang kondisi terkini kampung. Terutama tentu saja tentang tulisan agitatif di tembok tua dekat pasar besar itu.Â