"Yang penting bukan siapa yang memenangkan perang, tapi bagaimana pemerintahan Astina dapat memakmurkan rakyatnya". Itulah kalimat Bima pasca berakhirnya Bharata Yudha yang kemudian sunyi.
Setelah sangkakala kemenangan berbunyi saling bersahutan, namun sayang tiada kemeriahan selain rasa haru yang mendayu. Panji-panji Amarta tetap berkibar walau dalam kondisi yang compang camping, namun sebaliknya panji Astina justru berserakan bercampur lumpur dan jasad tanpa nyawa yang bergelimpangan.
Itulah gambaran saat itu pasca anak bangsa berhasil keluar dari penjajahan dan merebut kemerdekaannya.
Kini setelah 69 tahun berlalu, momen membanggakan tersebut kembali terulang. Kisah-kisah perjuangan para pahlwan kembali dipertontonkan, kembali diceritakan, walau hanya sekedar berbentuk kenangan.
Setelah keluar dari belenggu penjajahan, semua pihak mengharapkan sebuah kehidupan yang mandiri, berdaulat dan tentu sejahtera. Maka dengan itu perlulah dibentuk sebuah pemerintahan demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan sehingga melupakan bagaimana rasanya pahit ditindas dan diperlakukan setidak mestinya walau sedang berada dinegeri sendiri.
Alih-alih menjadi bangsa yang terbebas dari penjajah malah justru terjajah kembali atas terbitnya Undang-undang Penanaman Modal Asing. Yang justru bukan malah memihak kepada rakyat malah condong bersekutu kepada para pemilik modal. Mulailah satu persatu kekayaan alam terkeruk lalu terangkut, dan kita hanya bisa mengerjakannya tanpa pernah bisa merasakannya.
Bahkan sebuah anekdot menyebut, rakyat Indonesia adalah umat manusia yang paling dulu masuk surga dari pintu sedekah. Betapa tidak, ketika yang lain hanya berupa uang untuk bersedakah, namun bangsa ini bersedakah dengan emas, bersedakah dengan minyak dan gas, bersedakah lewat kayu di hutan, bersedakah dengan jutaan ikan di lautan, hingga bersedakah dengan tenaga kerja dalam bentuk TKI.
Bangsa yang kaya ini tetap miskin. Seolah triliunan lebih dana yang dikeluarkan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat lewat pemilu tetap tidak mampu mensejahterakan rakyat. Meski pidato kenegaraan terakhir Presiden SBY menyebut Indonesia berada di urutan 10 perekonomian terbaik dunia, namun tetap saja prestasi tersebut bukanlah untuk kesenangan rakyat. Sebab bebarapa perusahaan besar tanah air justru milik asing. Untuk urusan kepemilikian bank saja hampir 95% adalah milik asing, padahal negara tetangga Malaysia hanya sekitar 20% saja milik asing.
Spirit kemerdekaan demi terciptanya persatuan sedang berada di titik yang mengkhawatirkan. Kita terlalu mudah diadu domba dan gap tingkat kemiskinan pusat dan daerah cukup tinggi. Padahal daerah memiliki potensi alam yang mampu menaikan derajat kesejahteraan hidup masyarakatnya. Yang tersisa kini tinggal Bhineka-nya saja, namun Tunggal Ika-nya entah kemana. Para ahli dari luar negeri bahkan meramal besar potensi nanti Nusantara akan terbagi menjadi tiga negara yakni, Aceh, Papua, dan Indonesia itu sendiri.
Harapan kembali menjadi bangsa yang berdaulat dan sebagai rakyat pun menjadi bangga menjadi bangsa tersebut kembali hadir. Pemilihan wakil rakyat sudah rampung. Harapan untuk mendengar dan memperjuangkan aspirasi para pemilihnya dititipkan pada tuan dan puan anggota dewan.
Kini tinggal memilih pemimpin yang prosesnya sedang dititipkan di MK atas dasar kecurangan disaat pertandingan. Yakinlah bahwa Tuhan tidak tidur dan yakinlah pula bahwa Tuhan pun ikut bermain disidang MK. Permasalahannya kini suara manakah yang lebih didengar, dentuman para malaikat atau justru bisikan setanlah yang menyelinap.