#18
"I'm sorry my love, kok jadi ngeri-ngeri sedap masuknya barang tuh?!"
Kalimat yang tak asing tentunya. Idiolek yang dipopulerkan oleh Sutan Bhatoegana Siregar almarhum. Idiolek atau kata-kata yang spesifik digunakan seseorang dalam penyampaian pola pilihan kosakata, diksi, tata bahasa, dan pelafalan. Saking populernya idiom "Ngeri-ngeri Sedap" pun menjadi justifikasi  sekaligus indentitas ungkapan khas masyarakat Batak. Demikian Main Title film "Ngeri-ngeri Sedap" yang secara alegoris mencoba memotret seting latar budaya Tapanuli.Â
Memang hanya butuh cara baru untuk menceritakan kembali kisah lama. Masa lalu yang penuh kenangan tentang tradisi adat budaya juga relasi sosial dan komunikasi antar manusia hari ini. Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Terkira begitu penggambaran perjalanan peradaban manusia. Lahir, hidup berkembang; dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati. Siklus  hidup manusia yang tak bisa ditawar, di lompati atau ditolak. Setiap fase periodenya, dihadapkan pada problematika dan permasalahannya masing-masing. Patah tumbuh hilang silih berganti, setiap anak generasi punya caranya sendiri menyikapi zamannya.Â
Demikian risalah kesan setelah menyaksikan film "Ngeri-ngeri Sedap" produksi Imajinari Visionari Film Fund. Cerita skenario ditulis sendiri oleh sutradara Bene Dion Rajagukguk yang mencoba menawarkan cara pandang baru. Bagaimana generasi muda mendudukkan persoalan budaya dalam bingkai kekinian. Sungguhpun atas nama keanggungan dan kebesaran sejarah masa lalu, adakalanya masa depan seringkali ikut pula dikorbankan. Keinginan tak selamanya harus maju sesekali boleh juga mundur. Ganti untung atau ganti rugi itulah soalnya. Hasrat, pikiran dan harapan bekerja dengan caranya sendiri.
CARA BARU MEMAKNAI NILAI LAMA
Film memang tidak bisa mengesampingkan faktor kapitalisasi modal ekonomi yang mengepung dan menyertainya. Adakalanya film diproduksi dengan pertimbangan pasar yang dominan. Kreatifitas disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan penonton akan hiburan. Barangkali demikian perimbangan Dipa Andika selalu Produser, ketika memulai proses film "Ngeri-ngeri Sedap" yang bertutur tentang drama keluarga Pak Domu (Arswendy Beningswara Nasution) dan Marlina alias Mak Domu (Tika Panggabean) yang memiliki empat anak; Domu Purba (Boris Bokir), Sarma (Gita Bhebhita), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel).
Masalah muncul ketika Pak Domu dan Mak Domu merasakan kesepian di hari tuanya. Keempat anaknya jarang berkunjung pulang ke kampung halaman. Sebagaimana pikiran orang tua yang masih memegang nilai-nilai tradisi lama. Kenyataan itupun dirasa menggelisahkan yang teramat sangat. Ketika keempat anaknya tumbuh dewasa dan dianggap tidak menjadi seperti yang diharapkan orang tua. Disaat usianya semakin lanjut, kekecewaan itupun memantik persoalan diantara Pak dan Mak Domu.Â
Problematika orang tua generasi Baby Boomer yang lahir tahun 1946--1964 senyatanya hampir racak sama. Ketika harus menghadapi gap generation terhadap generasi X, Z dan Y yang tengah mengalami lompatan budaya. Generasi yang lazim disebut milenial memang banyak memiliki perubahan sikap, perilaku dan orientasi. Generasi ini tumbuh dan perkembang dalam transformasi teknologi yang pesat, dari analog ke digital. Percepatan perubahan teknologi informasi komunikasi yang setidaknya juga membawa perubahan nilai-nilai dan orientasi sosial. Bagaimana cara berpikir, bertindak, bersikap dan merasa serta mengaktualisasikan diri. Simbolisasi semacam yang secara sublim dipersonifikasikan lewat keempat anak keluarga pak Domu dengan baik, rapi dan samar.
Lihat saja bagaimana alur digulirkan melewati serangkaian Back Story: scene adegan penunjuk persitiwa yang terjadi sebelum cerita utama berlangsung. Informasi untuk membantu penonton agar lebih mudah memahami motivasi para tokoh pemeran melangsungkan cerita. Demi menjaga rangkaian konflik tetap konstan dalam irama suasana dramatis. Pak Domu dan Istrinya sepakat menjalankan rencana agar seluruh anaknya pulang dari perantauan. Mak Domu memutuskan untuk berpura-pura bertengkar hebat dengan sang suami.
Pertengkaran itu diatur sedemikian rupa agar terdengar ke telinga anak-anaknya. Inilah babak awal ketika kelucuan mencoba dihadirkan. Bukan pada pola akting slapstick karakter para tokoh perannya. Melainkan keputusan pilihan menyelesaikan problematika dengan cara bersandiwara dihadapan anak-anaknya merupakan keunikan tersendiri. Tentu cara yang dipilih ini bukan gaya masyarakat Batak masa lalu yang stereotip keras, tegas, galak dan teguh pada aturan marga (Patriarki).Â