#14
Menghormati Kematian Berdamai dengan Kenyataan
"Saya telah hidup dengan bayang-bayang kematian dini selama 49 tahun. Saya tidak takut mati, tetapi saya tidak ingin buru-buru untuk mati. Saya memiliki banyak hal yang ingin saya lakukan lebih dulu."
~ Stephen Hawking ~
SUDAH sekian waktu tergoda gelisah, ingin menuliskan arti "kehilangan", sebagai kata ganti penyebutan "kematian ". Entahlah mengapa dorongannya begitu kuat. Semacam mengalami availability bias (bias ketersediaan) atau kecemasan terhadap terulangnya suatu peristiwa yang memungkinkan dapat terjadi lagi. Respon emosional berlebihan tersebut membekas menjadi ingatan yang dalam sampai pada tataran pemikiran atau kepikiran.
Sebagai orang yang dibesarkan di tengah budaya tradisi Jawa rural, perasaan semacam itu biasanya lalu dihubungkan dengan 'tanda' dan 'pertanda'. Menandai atau niteni yang dalam kultur jawa biasa disebut ngelmu titen.
Kehilangan, hampir bisa dipastikan semua orang pernah mengalami, apapun itu, dari kehilangan hal yang paling sederhana sampai sesuatu yang luar biasa. Bahwa kemudian cara penyikapannya berlainan, itu juga sudah pasti. Tidak serta merta dapat digebyah uyah atau digeneralisasi. Disadari ukuran sendal, sepatu, celana dan baju aja setiap orang berbeda-beda. Apalagi hasrat, impian, maksud, tujuan, sasaran, dan orientasi hidup tentulah tak sama. Begitulah hakekat keragaman sejatinya, mendasarkan pada perbedaan individu senyatanya.
Perasaan kehilangan, bagi kebanyakan anak laki-laki pada umumnya, ditinggal ibu itu hal yang paling berat, Extremely Heavy; amat sangat berat. Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama untuk sembuh, mungkin juga, rasa sakit yang tak akan pernah usai. Berbeda sebaliknya, ketika seorang anak perempuan kehilangan bapak. Tetes air matanya pun menjadi semacam doa istighfar sepanjang helaan nafasnya.
Pengalaman itulah yang merambaskan larik tulisan mengalir sedemikian rupa entah kemana bermuara. Tanpa bermaksud apapun, kecuali menafsirkan vibrasi getaran yang tertangkap. Selain faktor empiris, pemantiknya dimatangkan pula oleh kepungan beragam informasi dari berbagai peristiwa yang disajikan bermacam media. Korban jiwa wabah, pandemi, perang, kerusuhan, bentrokan, perkelahian, kelaparan, kecelakaan, dan yang paling menyedihkan serta menyakitkan dirasakan adalah ketika mendapati berita bunuh diri.Â
Anggap saja itu assosiasi, persepsi, impresi, interpretasi atau imajinasi. Perasaan yang menyentak ketika ikut terlibat secara emosional, tentang arti kehilangan. Suasana yang agak rumit untuk didefinisikan, selain puisi. Sebab yang tersisa dari kehilangan  hanyalah kenangan. Begitulah lazimnya cinta menjadi "nyawa" dari bahasa dan ikatan antar sesama manusia yang oleh karenanya dapat terhubung "bersenyawa". Melintasi semua batasan agama, suku, ras, negara, bangsa, usia dan jenis kelamin, karena kehilangan bersifat universal dan manusiawi, tak terkecuali.Â
Sementara ini bunuh diri masih menjadi masalah serius di seluruh dunia. Berbagai riset menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1,5 juta orang di seluruh dunia meninggal karena bunuh diri. Indonesia pada tahun 2020 jumlah kematian bunuh diri mencapai 9.000 kasus. Data Kepolisian Indonesia, menyebutkan terdapat 671 orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Sedangkan BPS mencatat 5.787 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
Kasus bunuh diri kini tengah menjadi perhatian dunia internasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kemenkes, melansir kejadian bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius saat ini. Jumlah kematian akibat bunuh diri di dunia berdasarkan laporan terakhir WHO Global Health Estimates diperkirakan mencapai satu kematian setiap 40 detik. Artinya, ketika ada satu orang meninggal karena bunuh diri, diperkirakan terdapat 20 kasus percobaan bunuh diri pada saat yang bersamaan. Bunuh diri menyumbang 1,4 persen kematian seluruh dunia dan merupakan ranking ke-18 penyebab kematian terbanyak yang mendominasi negara berpendapatan rendah dan menengah.Â