Klithih memang berasal dari bahasa Jawa yang dimaksudkan melakukan kegiatan bersifat santai sambil mencari barang bekas di Klitikan. Aktivitas keluar malam daripada gabut, maka nglitih pun dilakukan sebagai sarana jalan-jalan ringan tanpa beban.
Ada banyak keprihatinan yang diungkapkan dari berbagai kalangan perihal banyaknya aktivitas Klithih yang salah itu. Selain sudah menelan banyak korban dari cidera ringan sampai merenggang nyawa pun cacat seumur hidup. Sungguh sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan para pecandu malam.Â
Preseden buruk yang keterulangannya tidak diinginkan sama sekali. Selain mencemaskan bagi keberlangsungan citra luhur yang sudah sejak lama dibangun dan dibanggakan. Bisa berkebalikan dengan tagline "Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan" di sebuah spot instagramable yang akhir-akhir ini trending di depan Teras Malioboro.
Benar "Jogja Ora Didol" begitu beberapa slogan tulisan terpampang di dinding tembok ruang publik, seakan menjadi mural alarm tersendiri. Tetapi tanpa disadari, pelan-pelan sedang dirampas kemerdekaannya oleh Klithih yang dimaknai sebagai Kliling Golek Getih (Keliling Cari Darah).Â
Sebut saja itu merupakan salah satu fenomena kejahatan jalanan yang sampai saat ini sedang diberantas. Oleh sebab itupun pihak aparat keamanan bersama pemerintah setempat sampai harus mengeluarkan kebijakan "Jam Malam Jogja".Â
Sungguh keputusan yang hanya terjadi disaat situasi genting. Sebagaimana pernah terjadi disaat jelang Reformasi 1998 yang ditandai dengan meningkatnya anarkisme di beberapa daerah.
KEKERASAN DI SUMBU MALAM
Penulis mempunyai pengalaman tersendiri terkait Klithih. Ketika malam hujan dan memaksa setia menunggu sampai dini hari. Pertemuan yang dipenuhi dengan perbincangan menggairahkan bersama para pegiat kemasyarakatan.Â
Meski yang dikunyah sebagai santapan melawan dingin, hanya soal keprihatinan juga kegundahan para sepuh. Ketika kekerasan beralih rupa dalam wajahnya yang beragam, Klithih, lisan, tulisan, pikiran maupun perbuatan. Korbannya bisa saja berwujud sakit hati dan derita badan, sekaligus pun gerah polo.
Di akhir pertemuan pun disepakati, bagaimana kedepan mengaktifasi kegiatan yang lebih menjangkau para muda. Melibatkan dalam proses dinamika nilai-nilai yang tak lain untuk memberikan ruang pada penghargaan dalam persaudaraan sejati lintas batas, melalui jalan media seni budaya. Sampai adzan subuh pun menutup perjumpaan, disertai hujan yang mulai reda. Artinya, cuaca telah memberikan ijin untuk kami pulang ke rumah masing-masingmasing.
Pada perjalanan kembali itulah, paradoks sertamerta hadir begitu saja. Apa yang kami perbincangkan semalam suntuk itu, tiba-tiba gugur demikian saja.