Stealth Marketing kadang dimaksudkan juga untuk menciptakan word of mouth positif, atau "buzz" (Buzz Promotion) dari sebuah produk, oleh karena itu tidak heran kalau Stealth Marketing ini juga memiliki keterkaitan dengan "Buzz Marketing" atau "Word Of Mouth Marketing"Â
yang secara positif dimaksudkan untuk "memberikan sebuah alasan kepada orang untuk berbicara tentang produk atau jasa, dan membuat hal tersebut lebih mudah untuk berbicara."
Terbukti usaha keluarga Jones dalam memasarkan produk mereka cukup berhasil. Banyak relasi yang terpengaruh untuk turut membeli produk yang digunakan keluarga Jones. Banyak orang yang tidak mau kalah dengan keluarga Jones dan tidak mau dianggap ketinggalan jaman, turut membeli produk tersebut. Bahkan tidak sedikit yang memaksakan perilaku konsumtifnya meskipun tidak diimbangi dengan kemapuan finansialnya yang cukup.
Dalam perjalanannya, keluarga Jones menemui adanya masalah. Steve merasa menyesal karena Larry, yang merupakan teman dekatnya, menjadi "korban" dari usaha marketing yang dilakukan Steve sendiri. Larry berubah menjadi pribadi yang konsumtif, ia memaksakan untuk membeli berbagai barang meskipun sebenarnya ia tidak sanggup membayarnya.Â
Sampai akhirnya Larry bunuh diri karena merasa depresi tidak bisa membayar tagihan atas barang yang dibeli. Selain Steve, Jenn dan Mick juga mengalami persoalan dengan beberapa teman.Â
Situasi yang rumit dalam keluarga Jones, mendorong Steve membongkar jatidiri The Joneses dan memutuskan berhenti. Namun Kate, Jenn dan Mick tetap melanjutkan karir mereka dengan keluarga Jones yang baru dan ditempat yang baru. Rangkaian Strategi penetrasi gaya hidup yang tersembunyi, terus akan direproduksi dengan berbagai aksi.
Kesadaran Menerima Kenyataan
Bagaimanapun apa yang pertontonkan film "The Joneses" tersebut adalah bentuk eksploitasi manusia atas manusia lain yang tendensi keuntungan materi. Cara menggugah syahwat selera eksistensial manusia: Keinginan mendahului Kebutuhan.Â
Dan semua itu dipertunjukan di depan mata semua orang. Kelihatannya saja sesuatu yang layak enak pantas sebagai sebuah keharusan, padahal kenyataannya bisa juga tidak, ketika keinginan hanya menjadi obyek eksploitasi industri gaya hidup.Â
Keinginan mendahului kebutuhan, secara serampangan bisa saja disandingkan dengan adagium "Eksistensi mendahului Esensi", klaim utama filsafat eksistensialisme, yang membalikkan pandangan filsafat tradisional bahwa esensi (kodrat) sesuatu itu lebih mendasar dan tak dapat diubah daripada eksistensi (keberadaan).
Bagi kaum eksistensialis, manusia melalui kesadaran mereka dapat menciptakan nilai mereka sendiri dan menentukan makna kehidupan mereka sendiri, karena manusia tidak memiliki identitas atau nilai yang melekat dengan dirinya.Â
Identitas atau nilai ini harus diciptakan oleh individu. Dengan ini mereka dapat menjadikan keberadaan mereka lebih bermakna. Gagasan ini dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre pada abad ke-20. Kadang kita bisa mentertawakan itu semua, tapi dilain waktu menghujatnya. Perilaku inkonsistensi dan intoleran serta kontradiktif semacam memang tak mudah dipahami, tergantung situasi yang mempengaruhi.Â