#4
Manusia akan menjadi lebih sehat kuat, ketika hidup dalam beragam kenangan yang membahagiakan, tulis Proust menilik soal 'Involuntary Memory' yang mengejutkan. Kenangan, tak serta merta muncul, melainkan hadir karena dirangsang oleh sesuatu yang khusus. Menurutnya, kenangan bisa muncul, atau tiba-tiba terlepas dari kotak pandora ingatan, karena ada rasa, aroma, perasaan atau sentuhan sensitifitas terhadap obyek tertentu yang menstimulasi. Berbeda dengan "Voluntary Memory" atau masa lalu yang coba diingat dengan sadar melalui rasionalitas intelijensi. Semacam hafalan, sesuatu yang sengaja diingat-ingat. Bukan hal yang sekonyong hadir sebagaimana mestinya sebuah kenangan.
Kenangan terhadap masa kecil bisa saja muncul sewaktu-waktu, tiba-tiba, serta merta, dalam momen yang tak sengaja, semesta masa kecil hadir dalam kesadaran atas waktu. Ingatan yang serentak, seketika muncul ke permukaan, dipicu suatu hal yang berkesan. Maka kenangan pun menjadi dibutuhkan terutama untuk kepentingan masa kini, bukan untuk masa lalu, tulis Routledge, yang menyatakan bahwa nostalgia bersama kenangan membantu orang untuk menghubungkan pengalaman masa silam dengan keadaannya sekarang -- persisnya menghangatkan dan menguatkan masa kini tiap orang. "Nostalgia bersama Kenangan" membuat orang-orang merasa dicintai dan dihargai, meningkatkan persepsi kehangatan serta dukungan di saat sedang kesepian, kata Routledge.
Disebabkan oleh nujum "Nostalgia bersama Kenangan" itu, ternyata jadi rangsangan pemantik hasrat menuliskan riwayat rumah bambu ini. Risalah kebahagiaannya menjadi lebih lengkap jika dapat dibagikan kisahnya. Begitulah sejarah, adalah kumpulan dari serpihan peristiwa kecil yang patut dikenang, sekiranya dapat menggumpal mengkristal pastilah menjadi sejarah. Setidaknya bagi pelakunya, sebagai sebuah sejarah individu personal, jika kemudian momentum tersebut berdampak pada lingkungan sosial akan menjadi sejarah kolektif, komunal kolegial pula.Â
Pun jika waktu diumpamakan sebagai sebuah perjalanan, maka untuk menempuh ribuan kilometer, harus dimulai dari satu langkah demi langkah yang harus terus ditapaki secara tekun. Tanpa maksud lainnya kecuali meyakini apa yang disebut Gunawan Mohamad dan Derrida: "Menulis adalah permainan dalam bahasa." karena "Menulis adalah suatu imitasi dari bicara".Â
Demikian dikisahkan, Rumah Lawasan Jawa ini pada mulanya dahulu, berdiri di Jagang Gendingan 119 atau sekarang Jl. KH. Wakhid Hasyim 99. Sejak kapannya tidaklah diketahui pasti. Menurut ceritanya sudah sejak eyang buyut pada masa kejayaan HB VI. Empunya rumah almarhum seniman Heru Sutopo yang sepeninggalnya diarea itu kemudian dipugar menjadi tempat usaha.
Bangunan omah Jawa ini sedikitnya pernah menjadi saksi bisu dari aktivitas berbagai dinamika seni budaya. Setidaknya ketika Kirjomulyo bersama Soenarto Pr mendirikan Sanggar Bambu pertama kali berdiri dan bermarkas pernah di rumah ini. Demikian juga ketika Kirjomulyo mendirikan Teater Indonesia bersama Mutinggo Busye, FX. Sutopo, Bagong Kussudiharjo, Koesno Sudjarwadi, Iman Sutrisno, dll, juga pernah bersanggar di rumah ini. Â Termasuk Kelompok Komedi Kalang Kabut yang dimotori Heru Sutopo, Wijaya, M. Nizar, M. Tahar, dll.
"Rumah Bambu", adalah sebutan yang pernah diberikan oleh sastrawan almarhum Kirjomulyo untuk bangunan ini, dahulu sekali. Sebutan itu pernah dituangkan dalam beberapa puisi. Kebetulan pernah menunggui Mbah Kirjo, berhari-hari bersama berbatang puntung rokok yang berceceran di lantai. Tepatnya mungkin tidak menunggu pasif, tapi setengahnya memaksanya menulis, sambil juga modus-nya belajar bersajak. Termasuk yang kemudian menguruskan menemui almarhum mas Achmad Munif dan almarhum mas Hadjid Hamzah, berkaitan pemuatan puisinya di halaman budaya Minggu Pagi dan Kedaulatan Rakyat Minggu.
Omah lawasan ini dulu tak sedikit pernah dikunjungi oleh insan film nasional, mengingat di rumah ini pulalah Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI DIY) didirikan dan bersekretariat. Maka tidak mengherankan jika beberapa produksi film layar lebar di Yogyakarta, kerap ngepos atau sekedar lewat melakukan audisi talent, coaching artis, sempat singgah ditempat dimana bangunan tersebut berdiri. Sebut saja misalnya: Lahirnya Gatot Kaca, Sisa-sisa Laskar Pajang, Api Di Bukit Menoreh, Si Bongkok, Pahlawan Goa Selarong, The Keris Pusaka, Joko Tarub, Aryo Penangsang, Roro Jonggrang, November 1828, Doea Tanda Mata, Ponirah Terpidana, Kontak Tani PPFN, Roro Jonggrang, Nyi Blorong, dll. Â
Kesan mendalam atas rumah ini pun tidak saja dalam dunia perfilman, tetapi juga panggung dan televisi. Tak kurang ketika mengawali membidani "Jenaka KR", Persatuan Artis Humor DIY (Pamor), Sanggar Pelangi - Sanggar Kegiatan Musik Remaja, Teater Seketheng,Teater Latar, Kalika, dll. Juga kerja-kerja seni dan budaya yang tak tercatat lagi. Yang kesemua itu menjadi bagian dari proses berapresiasi seni di bawah atap 'Rumah Bambu' ini.
Disebabkan nukilan kesadaran itu pula, untuk sekadar memberi makna atas nilai-nilai yang tumbuh dan ditumbuhkan, dari 'jejak sepi' perjalanan seni budaya yang menyertainya, maka diupayakan Omah Jawa kawasan yang dulunya terdiri Joglo, Limasan dan Kampung tetap didirikan. Rekontruksi tipis-tipis, semampunya daya upaya sarana yang dimiliki. Banyak hal menyertai keterbatasannya, lumrah jika tidak bisa menjadi sama persis sesuai bentuk awal aslinya, melainkan mengalami kompromi penyesuaian modifikasi dengan kapasitas yang ada.
Perubahan begitulah keniscayaan jaman. Manusia berada dalam pilihan kepentingan, antara harapan, keinginan, kemampuan dan kebutuhan. Kesemuanya akan bercampur aduk untuk menguji kepentingan dan orientasi tujuannya. Ada yang kemudian mampu tetap berdiri kokoh menjaganya atau menyelaraskan secara sinergis, namun banyak pula yang gagal, menyerahkan pada kebutuhan realistis pragmatis. Mengikhlaskan dengan terpaksa, berdamai dengan kebutuhan ekonomis, mengganti nilai-nilai yang telah disemai, menjadikan wujud sarana materialitas komoditas ekonomi.Â
Demikian pun ketika kemudian bangunan ini dipindah, harapannya tentu saja untuk meneruskan nilai-nilai pengabdian beserta semangat melanjutkan kerja-kerja sosial budaya dan kesenian. Kini bangunan Lawasan Omah Jawa Kampung, Limasan dan Joglo ini diberi identitas Omah KalBu oleh cucunya almarhum Heru Sutopo, yang sekaligus melangsungkan berbagai aktifitas yang menjadi bagian merayakan keragaman yang hakiki. Sejauh aktifitasnya berkemanfaatan untuk sesama lebih berperspektif, sekecil apapun itu.
Orang muda memang memiliki pathos nawaitu-nya dalam memahami persoalan lingkungannya. Seperti akar punya caranya sendiri untuk menghisap saripati kehidupan yang telah tersedia, sesuai kemanfaatannya. Bagaimana cita-cita sosial itu dimaknai dan direpresentasikan secara bulat, meskipun tumbuh dalam gesekan-gesekan kreatif, tetapi seni tidaklah tumbuh sendiri secara otonom, melainkan terlibat secara partisipatif, semacam seni yang terlibat sebagaimana disebut almarhum Arief Budiman diranah Cultural Studies, Demokrasi dan HAM, Â Feminisme Kesetaraan Gender, Lingkungan Hayati, yang kesemuanya mengalir dari hulu hilir di ruang-ruang sosial, seraya menemukan kebahagiaan terbesar, the greatest happiness, karena yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan, semirip mungkin Utilitarianisme yang disebut Stuart. Dari sanalah pilihan itu lahir yang oleh kebanyakan orang muda lazim dikatai passion. Sumonggo sajalah, orang mudalah pewaris sah masa depan. Anak panah yang akan melesat ke depan menuju sang waktu, tulis Khalil Gibran. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H