#2
"Mbang, kamu tau artinya Vidia itu?"
Tanya mas Wendo, saat berkesempatan ngobrol dibawah pohon pisang di galengan sawah, tepian komplek candi Borobudur. Menengok mas Wendo menyutradarai screenplay yang ditulisnya sendiri: "Anak Anak Borobudur". Skenario tersebut sebelumnya pernah diproduksi TVRI Nasional, "Pemahat Borobudur" disutradarai Dedi Setyadi dan mendapatkan penghargaan Citra FFI.Â
Lalu ditulis ulang untuk film yang disutradarainya sendiri. Meskipun sedang bekerja menyutradarai, mas Wendo masih saja tetap dapat memberi 'kuliah' berbuncah-buncah tentang banyak hal dengan gayanya yang nyerempet-nyrempet. Diselingi interval, ketawanya yang sophisticated: percampuran antara komponen satire, ironi, sarkas dan absurd itu. Melihat cara kerjanya sempat terbersit dibenak, enak banget jadi sutradara begini.Â
Menyaksikan sendiri para asisten saling sibuk berlarian menyiapkan adegan. Sesekali bergegas mendekat tv monitor tempat kami ngobrol, lalu tergopoh-gopoh balik lagi ke lokasi. Mungkin tahu keheranan yang saya batin pikirkan, mas Wendo pun seakan berargumentasi membelanya.
"Jadi sutradara yang benar itu ya begini. Fokus pada scene yang mau kita buat. Jangan malah sibuk ngurusin macem-macem. Mereka udah ahli-ahli di bidangnya." seloroh khasnya.
"Kamu kan pernah dapat beberapa piala Vidia tho? Mosok gak tau?! Vidia itu nama waiters di puncak sana Mbang?!." Lanjut ejekannya itu yang bikin saya cengar-cengir, ngeper. Kalah mental. Meski dalam hati, saya jawab, apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare mas.Â
Sembari terus menyimak kisah kronologis nama Vidia. Katanya, sewaktu panitia FSI sedang rapat di puncak, mengalami kebuntuan untuk memberi nama penghargaannya. Tiba-tiba nyelonong perempuan muda cantik nganter minuman. Saya tanya siapa namanya? Vidya.Â
Yah itu aja yang dipakai untuk nama penghargaan nominie FSI. Candaannya selalu begitu, termasuk bagaimana memaknai judul TV Play serial ACI, tidak saja akronim dari "Aku Cinta Indonesia", tapi mas Wendo punya caranya sendiri menyelundupkan tafsir yang berbeda, pun memlesetkan sesuatu yang diciptakannya sendiri, termasuk Jendela Rumah Kita dan Keluarga Cemara yang kesemuanya pernah ditayangkan TVRI Nasional.Â
Mas Wendo, secara pribadi pasti tidak mengenal saya, tetapi saya mengenalnya dengan baik. Bukan personalitas, tapi lebih pada profesionalitasnya, sebagai jurnalis, penulis, script waiters, tepatnya konseptor kreatif. Kebetulan saja sewaktu kerja kelompok di Sanggar Kerja Total (SKT) Penulisan Skenario tahun 1986 yang diselenggarakan bang Ashadi Siregar, pak Ishadi SK, dan almarhum Umar Kayam, melibatkan ISKI,
TVRI, LP3Y dan PSK UGM. Mas Wendo bersama Dedi Setiadi dan Cak Nun, bergiliran menjadi mentor-fasilitator kelompok kami, selain juga almarhum Sandy Tyas. Persis kesaksian yang ditulis kawan Amron Mbah Dang Trisnadi. Dari sanalah perkenalan awal tatap muka itu bermula. Dilanjut sekian tahun kemudian dipertemukan LSJ (Lembaga Studi Jawa), Sandika dan Mandiri Kreasi Sinema, dalam beberapa program.