Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Potensi Kepemimpinan Perempuan Indonesia di Tengah Perubahan yang Terus Terjadi

14 Juli 2022   20:01 Diperbarui: 14 Juli 2022   23:38 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Kamis, 14 Juli 2022. Diharapkan judul tulisan ini tidak dimaknai secara sederhana. Namun juga tidak harus disikapi terlalu serius. 'Casual tapi tetap santun', begitulah kira-kira harapannya. 

Betul, terdengarnya mirip karakter yang sering didengungkan pada serial webinar KUMBA (Kumpul Bahagia Alumni MMUI) yang rutin digelar setiap hari Selasa malam, dan selalu terbuka untuk umum. Akan tetapi tidak ada hubungannya secara langsung.

Sesungguhnya tulisan ini sebagai lanjutan bahasan topik tulisan sebelumnya (Indonesia Women's Resilience). Masih berkaitan erat dengan 'urusan' perempuan Indonesia. Bukan lagi menjadi isu kesetaraan gender, namun perempuan sudah benar-benar memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini. Terutama di tengah-tengah kehidupan yang terus menerus diwarnai perubahan. 

Bahkan perubahan akan semakin cepat terjadinya. Pandemi dan disrupsi teknologi hanyalah merupakan bagian perubahan itu sendiri. Karenanya, judul tulisan sebelumnya menggunakan kata-kata 'resiliensi'. Selalu siap dan tak gentar, untuk tangguh menghadapi segala rintangan agar terus sukses, dan hidup menjadi lebih baik serta lebih berarti dari sebelum-sebelumnya.

Bagi para pria, mungkin masih banyak mengartikan tulisan ini hanya seperti layaknya para politikus yang selalu sibuk dengan pencitraan. Ramai dibicarakan atau sering diangkat isunya hanya saat menjelang dan dalam rangka memperingati hari-hari perempuan, selebihnya dilupakan kembali. 

Formalitas dan tematik - begitulah kira-kira pengertian sederhananya! Namun, kaum pria tidak bisa lagi munafik dan menampik kehadiran atas prestasi dan pencapaian karya-karya nyata perempuan yang banyak telah disumbangkan ke negeri tercinta ini. 

Dari mulai permasalahan rumah tangga sehari-hari, sampai dengan urusan negara. Terbukti, menteri keuangan negara yang krusial masih dipercayakan kepada perempuan. Beberapa menteri perempuan lainnya yang juga selalu hadir di setiap kabinet. 

Belum lagi pemilik bisnis dan pimpinan-pimpinan perusahaan besar baik lokal maupun multinasional, pimpinan institusi pendidikan; sekolah bahkan perguruan tinggi nomor satu di Indonesia, serta pimpinan partai dan organisasi kemasyarakatan lainnya.  

Seperti kita ketahui bersama, perubahan terus terjadi dan semakin cepat terjadinya. Perubahan yang semakin cepat dan terus terjadi itu selalu bergejolak, penuh ketidakpastian, sangat rumit, dan membingungkan. Lingkungan bisnis terdisprusi oleh perubahan. 

Terutama disrupsi teknologi, khususnya teknologi informasi digital sangat memengaruhi perubahan lingkungan bisnis hampir di seluruh sektor industri. Agar perusahaan tetap sukses dalam menjalankan bisnis di atas perubahan tadi, dibutuhkan kepemimpinan yang tangguh. Termasuk potensi kepemimpin perempuan Indonesia.

Disrupsi digital menimbulkan perbedaan cara atau kecenderungan pola berpikir dan berperilaku manusia yang semakin beragam (diversity) dan kompleks. Karena di Era Digital setiap manusia telah memiliki hak yang sama dalam mengakses informasi ke internet, selama mereka memiliki gawai, dapat menangkap sinyal, dan memiliki cukup pulsa atau menerima akses free wi-fi. 

Sementara mereka mempunyai latar belakang suku, ras, agama, kebiasaan, kebudayaan, bahasa, cara pandang yang berbeda-beda. 

Di Indonesia saja terdapat 656 suku bangsa dengan 300 macam bahasa lokal (Keberagaman Masyarakat Indonesia, 2020). Terutama juga berlatar belakang pendidikan, generasi, dan kemampuan literasi baca yang berbeda-beda. Sehingga semakin mewarnai keragaman perbedaan tersebut.

Perubahan memang tidak dapat dikelola lagi dengan baik. Tapi yang lebih penting bagaimana cara perempuan menyikapinya. Otak manusia dianugerahkan untuk selalu dapat beradaptasi, memiliki kemampuan otak untuk terus berubah. 

Otak seorang perempuan memiliki energi yang sangat kuat, efisien, yang bisa secara mandiri memahami berbagai proses yang terjadi di dalam dirinya, dan demikian pula secara mandiri dapat memperbaiki jika terjadi kesalahan. Konsep neuroplastisitas dapat menjelaskan kemampuan otak untuk terus berubah dan beradaptasi (Peterson, 2012). 

Perubahan lingkungan bisnis yang VUCA sifatnya terus menerus terjadi, telah dinyatakan sejak 2013 sebagai suatu kenormalan baru (Lawrence, 2013). Pandemi COVID-19 hanya merupakan salah satu contohnya, dan berhasil mempercepat transformasi digital (Syatiri, 2020). 

Memaksa bisnis melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungannya. Tidak sekedar mengikuti perubahan, atau hanya berubah semata. Akan tetapi bagaimana kinerja perusahaan tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, dan tahun-tahun mendatang dapat diprediksikan untuk terus bertumbuh sesuai yang direncanakan, konsep dari continuous improvement (Robert Brown, 2013).

Perubahan dipastikan terus terjadi. Bagaimana perempuan menyikapi perubahahan menjadi faktor penting berkontribusi bagi keberhasilan perusahaan dan organisasi. Perubahan akan sangat berarti dan diperlukan bila mereka melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk menjadi lebih baik. 

Perbedaan pola pikir dan perilaku, tidak hanya perbedaan gender, yang semakin beragam memengaruhi bagaimana mereka berkomunikasi dan berkoordinasi, serta bekerjasama dan berkolaborasi dengan baik.  Termasuk perbedaan pola pikir dan perilaku lintas generasi. Beberapa orang mengalami kesulitan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan tim atau mitra yang berbeda gender dan generasi.

 

Tinjauan Pustaka

Terkait dengan potensi kepemimpinan perempuan, penulis hadirkan hasil telaah dari 3 jurnal penelitian dunia. Pada artikel jurnal pertama, melaporkan hasil penelitiannya; bahwa perempuan sering diabaikan dalam hal pelatihan kepemimpinan (Hopkins et al, 2021). 

Penyediaan coaching (pembinaan) rekan yang difasilitasi (FPC - facilitated peer coaching) telah dianggap sebagai pilihan strategi dengan biaya yang efisien dan efektif; walaupun masih minimnya penelitian dalam HSO (human service organizations). 

Area pertumbuhan terbesar termasuk pola pikir individu dan perilaku interpersonal dalam praktik organisasi. Tantangannya termasuk pembatasan waktu dan ketidakberdayaan mengubah budaya organisasi. HSO dapat meningkatkan pembinaan kepemimpinan bagi perempuan dengan menyediakan waktu, sumber daya, dukungan, dan kemitraan dengan organisasi untuk pembinaan di seluruh jaringan.

Sedangkan pada artikel penelitian kedua yang diadakan di Mozambik, bahwa keterwakilan perempuan signifikan dalam pemerintahan di tingkat pengambilan keputusan telah diidentifikasi sebagai langkah kunci menuju pencapaian kesetaraan gender (Lewis et al, 2018). 

Di dalam penelitian itu dikatakan pada tahun 2015, perempuan menduduki 39,6% kursi parlemen. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan dan fasilitator terkait gender untuk meningkatkan kebijakan yang berpusat pada perempuan di sektor kesehatan. 

Pada penelitian ini memiliki 2 temuan utama, yaitu: (1) perempuan yang berpartisipasi umumnya tidak merasakan diskriminasi di tempat kerja dan (2) senior pada sektor kesehatan ini menganggap perempuan lebih dapat menyesuaikan diri dengan isu-isu yang berpusat pada perempuan daripada pria.

Di dalam penulisan penelitian pertama dicantumkan hasil riset sebelumnya; bahwa pada penelitian neuroleadership menunjukkan bahwa pembelajaran difasilitasi dengan baik ketika memungkinkan untuk "momen generatif" - membangun waktu sesuai rencana yang didedikasikan untuk refleksi dan penerapan pembelajaran sesama partisipan, dan kemudian diperkuat melalui dukungan kolaboratif. 

Pembelajaran ini menjelaskan bagaimana peserta didik memperoleh pengetahuan, dan memaknainya menjadi perubahan perilaku yang dapat ditindaklanjuti (Rock & Ringleb, 2013).

Sedangkan di dalam artikel penulisan penelitian ketiga, dieksplorasikan peran neuroleadership (kepemimpinan berbasiskan neurosains) dalam keterlibatan kerja (work engagement). Walau dalam penelitian ini tidak mengkhususkan atau membedakan gender secara spesifik (Zwaan et al, 2019). 

Disebutkan juga pada artikel tersebut bahwa pengembangan SDM (sumber daya manusia) kurang fokus dalam penelitian teoritis karena kurangnya kejelasan hubungan penelitian dengan praktek dan kurangnya minat pada isu teoritis (Storberg-Walker, 2006). 

Sedangkan neuroleadership meningkatkan keterlibatan kerja melalui dimensi psikologis, neurobiologis, sosiologis dan organisasi, seperti yang disajikan dalam kerangka EngageInMind.

Pada artikel riset yang pertama disebutkan bahwa langkah-langkah penting bagi human service managers adalah memberikan pada kaum perempuan kesempatan pembelajaran dan pelatihan kepemimpinan, baik individu maupun kolektif, di mana pengetahuan, keterampilan, dan ide dapat dibagikan serta didukung secara kolaboratif. 

Pemahaman kolaborasi yang efektif berangkat dari pemaknaan kata 'kolaborasi' itu sendiri. Hal ini terkait dengan kecerdasan bersama atau berkelompok.

Kecerdasan kolektif mengacu pada kapasitas dan kemampuan gabungan kelompok atau tim untuk melakukan berbagai tugas serta memecahkan berbagai masalah. Kecerdasan kolektif telah terbukti secara konsisten memprediksi kinerja kelompok dan tim di masa depan (Chikersal et al, 2017). 

Sedangkan Dawna Markova, PhD bersama menantunya Angie McArthur, di dalam bukunya yang berjudul "Collaborative Intelligence - Thinking with People Who Think Differently", mendefinisikan kecerdasan kolaboratif sebagai ukuran kemampuan kita untuk berpikir dengan orang lain atas dasar apa saja yang penting baik bagi kita semua (Dawna & McArthur, 2015).

Kemajuan teknologi khususnya teknologi digital atau teknologi informasi memang berdampak memunculkan keberagaman yang semakin kompleks. Tidak hanya perbedaan gender. Diversity berpotensi memunculkan kreativitas, inovasi, dan produktivitas serta kinerja tim yang terbaik. 

Namun menurut Geil Browning di dalam bukunya: "Work that Works" bila kita tak cakap mengelola cognitive diversity sebaliknya memungkinkan terjadinya kehancuran tim atau kelompok  (Browning, 2018). Kecenderungan pola berpikir dan beperilaku setiap manusia berbeda, yang diwariskan dari cetak biru genetika masing-masing orang tua mereka bercampur dengan lingkungan pengalaman hidupnya.

 

Metode Penelitian Kualitatif 

Pada penelitian artikel pertama dijelaskan terkait metode tradisional yang menilai output pengembangan kepemimpinan telah dikritik, seperti evaluasi pelatihan individu dan penilaian kompetensi pra dan pasca pelatihan.

Karenanya analisis eksplorasi kualitatif digunakan untuk mencoba melampaui metode tradisional, fokus baik pada pembelajaran individu dan penerapan pembelajaran organisasi di antara sampel beragam perempuan dari berbagai cohort yang dipilih. 

Data dikumpulkan melalui focus group yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang pengalaman peserta tentang kegunaan pembinaan (coaching) pengembangan profesional dan perilaku kerja mereka di dalam organisasi. 

Disampaikan karena terbatasnya penelitian empiris dan teori tentang efektivitas pembinaan, terutama yang berkaitan dengan layanan manusia, pendekatan grounded theory (Padgett, 2017) adalah prinsip panduan dalam desain penelitian.

Pada artikel yang kedua penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif yang melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan 39 individu (32 perempuan, 7 pria) tingkat senior, yang terlibat di dalam pembuatan atau implementasi kebijakan yang berpusat pada perempuan di Kementerian Kesehatan Mozambik dan institusi terkait. Studi ini mendapat persetujuan dari Universitas IRB. 

Riset menggunakan panduan wawancara semi-terstruktur yang mencakup pertanyaan tentang kesulitan dan faktor fasilitasi yang dihadapi dalam proses pembuatan kebijakan, dan peran gender yang dirasakan dalam proses tersebut. Peneliti menggunakan pendekatan analisis deduktif dan induktif, dimulai dengan satu set tema yang telah diidentifikasi sebelumnya dan memperluas ini untuk memasukkan tema yang muncul selama pengkodean.

Sedangkan pada artikel penelitian yang ketiga menggunakan beberapa pendekatan kualitatif, terutama pendekatan GMTB (general method of theory-building) yang memiliki kekayaan teori, walaupun tetap memiliki keterbatasan-keterbatasanya.

Namun telah berkontribusi menyumbangkan teori baru yang patut dicoba untuk diaplikasikan keberhasilannya terutama di dalam manajemen kepemimpinan, organisasi dan sumber daya manusia (MSDM). 

Strategi penelitian sangat baik dilakukan dengan menggunakan a case study, meta-triangulation, semi-structured interviews, dan focus groups. Sayangnya keterlibatan jumlah peserta dalam grup fokus ini tidak terlalu banyak dan diakui peneliti sebagai salah satu limitasi.

Untuk pengambilan dan pengumpulan data pada penelitian pertama, reponden FGD secara virtual dari 3 kohort berpartisipasi selama 60 menit. Secara keseluruhan, dilakukan 5 VFG ini (virtual focus group) melalui aplikasi zoom. 

Setiap kelompok fokus direkam dan ditranskripsi. Wawancara juga dilakukan kepada 2 pelatih profesional yang memfasilitasi 7 peer coaching circles untuk masing-masing cohort. Tim peneliti melakukan beberapa kelompok fokus di antaranya; penerima hibah yang disponsori yayasan, beberapa kelompok kedua organisasi nirlaba di seluruh wilayah metropolitan, semua karyawan organisasi nirlaba besar. 

Serangkaian pertanyaan yang dikembangkan kepada kelompok fokus informasi terkait; (1) penilaian peserta tentang pertumbuhan individu mereka dalam pembelajaran kepemimpinan, (2) dampak pembelajaran, dan (3) penerapan pembelajaran dalam organisasi. Sedangkan pertanyaan wawancara terkait; (1) pengembangan profesional peserta kohort, (2) pembelajaran dan dampak kolektif/kohort, dan (3) penerapan dan dampak organisasi.

Pengumpulan data untuk penelitian kedua; peneliti merekrut tiga pengumpul data Mozambik dengan pengalaman melakukan penelitian kualitatif, dan mengadakan pelatihan metodologi selama 2 hari dan untuk membiasakan pengumpul data dengan panduan wawancara. 

Pengumpulan data selama 3 bulan, dari Januari sampai Maret 2017, melalui wawancara dalam bahasa Portugis. Wawancara direkam secara elektronik, dan catatan rinci selama wawancara. 

Pengumpul data menggunakan panduan wawancara semi-terstruktur berfokus pada pengalaman pembuat keputusan dengan perannya masing-masing, dan apa yang dirasakan seputar kesehatan perempuan di Mozambik. Setiap wawancara rata-rata 30-45 menit.

Sedangkan metode pengumpulan data untuk penelitian ketiga yaitu data dikumpulkan 5 tahun melalui observasi. Dokumentasi termasuk risalah forum yang diadakan dan catatan arsip. Pengumpulan data metatriangulasi meninjau semua artikel jurnal neuroleadership teks lengkap dan memilih artikel yang relevan menggunakan Integral Theory's All Quadrants All Lines (AQAL). 

Setelah bracketing selesai, 14 studi kasus ditinjau berdasarkan data sekunder memetakan lebih lanjut dimensi neuroleadership. Jenis keterlibatan (sifat, perilaku, kolektif dan kontekstual) dipetakan pada model 4 kuadran AQAL. 

Data wawancara semi-terstruktur dikumpulkan menggunakan survei posisi - untuk informasi biografis. Data dalam kelompok fokus dikumpulkan menggunakan perekam satu kelompok fokus dan mencatat untuk kelompok lainnya.

Diskusi: Analisis, Temuan, Limitasi, Rumusan Masalah

Dalam artikel penelitian pertama proses analisis dilakukan selama beberapa bulan. Setiap anggota membaca setiap transkrip, terlibat pengkodean deskriptif, menggunakan microsoft word, diikuti dengan pengkodean kategoris dan tematik mendalam untuk menyelidiki, menyebutkan, dan memahami pengalaman pelatihan langsung para peserta. 

Setiap 2 minggu anggota peneliti bertemu mendiskusikan pengkodean dan pencatatan. Proses pengkodean tematik didorong oleh data, pola dan elemen kunci diperikasa seluruh kelompok fokus dan wawancara, serta mengecek inkonsistensi di seluruh pengalaman peserta, 

membahas perbedaan dalam interpretasi seperti yang dijelaskan dalam analisis komparatif konstan, membuat memo, memeriksa kembali transkrip aslinya. Konsistensi dan tema yang jelas muncul terkait dengan tiga pertanyaan penelitian terkait; 1) individu dan manfaat organisasi; 2) nilai tambah dan keterbatasan pembelajaran kohort; dan 3) tantangan serta pelajaran yang dipetik.

Analisis data dari kelompok fokus dengan peserta dan wawancara dengan pelatih memberikan gambaran sekilas tentang manfaat dan keterbatasan model pembinaan (coaching) yang dieksplorasi, baik individu maupun organisasi mereka. 

Eksplorasi terkait benefit indvidu dan organisasi; adanya peningkatan pola pikir terkait keyakinan, keterlibatan kerja, dan kesadaran diri. Manfaat lainnya; keterampilan antar pribadi dan praktik pengawasan yang lebih kuat, peningkatan kompetensi dalam keterampilan teknis yang diperlukan untuk memimpin layanan manusia yang semakin kompleks, dan beberapa perubahan menjanjikan dalam praktik organisasi, khususnya di bidang penggalangan dana dan pengukuran kinerja. Sedangkan nilai tambah dari pembelajaran cohort; relasional, kepercayaan, dan pemahaman tugas orang lain, membina hubungan yang lebih dalam, serta pemahaman perjuangan bersama. Sebaliknya sebagai limitasi; mereka ketakutan, ketidakpercayaan, dan perbedaan kekuatan, mengurangi rasa berbagi autentik dengan rekan kerja.

Sedangkan pada artikel penelitian kedua, proses analisis data dilakukan oleh pengumpul data yang mengunggah rekaman wawancara ke laptop setiap harinya. Wawancara ditranskripsikan ke dalam bahasa Portugis, dan laporan ringkasan singkat setiap wawancara. 

Tim studi bertemu rutin membahas tema yang muncul dan untuk melakukan triangulasi temuan di seluruh responden. Tinjauan literatur sebagai titik tolak untuk mengidentifikasi tema dan disesuaikan karena semakin banyak dan berbeda muncul dari data melalui pertemuan tanya jawab reguler. 

Transkrip diunggah ke Dedoose (versi 7.6.6) dan tim studi mengembangkan buku kode awal dengan melakukan analisis tematik dari data dikembangkan dari apriori dan tema muncul menggunakan 8 transkrip yang dipilih 20% secara acak.

Kemudian diekspor kode dari Dedoose ke Excel dan diatur kembali berdasarkan tema utama. Dua topik utama muncul dari analisis data: (1) persepsi diskriminasi berbasis gender dan (2) persepsi wawasan perempuan tentang kesehatan perempuan. 

Masing-masing tema mewakili aspek berbeda dari pengalaman dan pengamatan terkait gender peserta. Tiga temuan utamanya : (1) perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian tidak melaporkan perasaan diskriminasi di tempat kerja; (2) para pembuat keputusan memandang bahwa perempuan juga terwakili dalam sektor kesehatan di Mozambik; dan (3) para pembuat keputusan memandang perempuan sebagai pribadi yang lebih peka terhadap isu-isu yang berpusat pada perempuan daripada laki-laki.

Pada tulisan penelitian ketiga; selama pendekatan pembangunan teori, berbagai metode analisis data diterapkan. Analisis data studi kasus termasuk membangun database kronologis 5 tahun terdiri dari dokumen-dokumen seperti menit forum, survei, data kelompok fokus sebelumnya dan presentasi. 

Content analysis, operasi pengkodean yang memungkinkan transformasi data mentah menjadi data standar. Memungkinkan pandangan keterlibatan kerja diterapkan.

Analisis data dari 14 studi kasus dikumpulkan, bagian membangun kerangka teoritis, termasuk rencana perjalanan berurutan, analisis paradigma menggunakan serangkaian analisis sistematis untuk pemrosesan informasi. Itinerary dipakai model empat kuadran AQAL. 

Coding, melibatkan pemecahan, interpretasi dan konseptualisasi data, digunakan. Tanda kurung paradigma diterapkan dimulai dengan kasus pengkodean dan artikel yang ditulis dari perspektif yang sama. Kemudian dikategorikan ke dalam kerangka 4 kuadran AQAL.

Tema dianalisis mencakup paradigma dan membantu metateori dan pembentukan kerangka terintegrasi. Analisis data dihasilkan dari wawancara semi terstruktur dan kelompok fokus meliputi penataan dan pengkodean catatan, teks dan catatan lapangan yang diperoleh. 

Hal ini direduksi dan dikategorikan menggunakan label berupa kode-kode. Tema bermakna diidentifikasi dan hubungan serta pola relevansi didokumentasikan.

Hasil penelitian tersebut mempertimbangkan; bagaimana work engagement telah diterapkan dan dikelola dalam organisasi, kerangka kerja integratif cocok untuk mengintegrasikan neuroleadership dan work engagement, poin integrasi neuroleadership dan work engagement, menggabungkan poin integrasi ke dalam kerangka kerja, meninjau penerimaan kerangka kerja dalam bisnis oleh profesional SDM. 

Hasil data mengungkapkan tiga tema: 1) organisasi mengukur keterlibatan menggunakan berbagai survei berkaitan dengan kepuasan kerja, 

2) organisasi menerapkan intervensi untuk mengatasi masalah, tetapi tidak harus holistik, dan 3) organisasi menerapkan perubahan didikte lingkungan kompleks tanpa secara proaktif mempertimbangkan atau mengelola dampak keterlibatannya.

Tujuan penelitian ketiga ini sesuai dengan kerangka holistik secara teoritis menggabungkan neuroleadership dan work engagement secara konseptual mengungkapkan keselarasan kerja dengan 4 kuadran AQAL Teori Integral (2000) dari Ken Wilber. 

Temuan dihasilkan dari meta-triangulasi dan bracketing memetakan titik integrasi neuroleadership dan work engagement. Dalam interior: kuadran individu, perhatian dan kecerdasan emosional muncul sebagai dimensi positif terkait keterlibatan kerja. 

Dalam eksterior: kuadran individu, biologi seorang pemimpin, muncul sebagai kontributor positif untuk keterlibatan kerja. Sedangkan kuadran kolektif: interior mengungkapkan status, kepastian (certainty), otonomi (autonomy), keterkaitan (relatedness), dan keadilan (fairness) atau disingkat menjadi SCARF dan pikir pertumbuhan organisasi, tampaknya menjadi kontributor terbesar untuk keterlibatan kerja.

Sesuai dengan judul penulisan essay ini, masih banyak hasil ketiga penelitian di atas yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian bila akan diaplikasikan di negeri kita tercinta. Penulis mencoba mengkaitkan dengan potensi kepemimpinan perempuan Indonesia. 

Beberapa limitasi hasil penelitian telah diuraikan di atas, terkait budaya kerja yang berbeda, jumlah responden, metode-metode pembelajaran, pembinaan (coaching), gaya kepemimpinan, lintas generasi, dan faktor-faktor lain di atas yang belum disebut di sini. Walaupun asumsinya dari pengamatan sementara; perempuan Indonesia harus lebih bisa menerima, bekerjasama dan memimpin dengan keberagaman anggota tim bekerja.

Sangat beralasan, karena salah satu prinsip falsafah bangsa ini; 'Bhinneka Tunggal Ika' berbeda-beda suku, bahasa, adat, agama, kepercayaan, kebiasaan dan lain-lain namun tetap satu jua. Akan tetapi perubahan lingkungan yang semakin cepat dan terdisrupi, terutama disrupsi teknologi informasi, di mana setiap warga negara Indonesia memiliki akses informasi yang sama. 

Selama mereka memiliki gadget dan dapat menerima sinyal baik yang berbayar maupun sinyal wifi yang gratis. Sementara mereka memiliki latar belakang pendidikan dan kemampuan literasi baca yang berbeda. 

Serta bangsa ini telah memasuki alam demokrasi di mana setiap orang ingin berbicara atau menyampaikan pendapatnya. Disrupsi teknologi ini menimbulkan diversity atau keberagaman yang semakin kompleks.

Kepemimpinan perempuan Indonesia diperlukan untuk memiliki pola pikir yang agile, cepat beradaptasi, berpikiran maju, berpikiran positif, bertumbuh dan terbuka, memiliki resiliensi ketangguhan mental yang kuat serta inklusif, kemampuan untuk memimpin seluruh anggotanya yang dipimpin, bukan hanya sebagian.

Menurut Geil Browning, tim kerja yang baik adalah mereka yang bisa memadukan keberagaman berpikir dan berperilaku. Terutama dalam berpikir, berkomunikasi, dan bekerjasama, serta berkolaborasi. Masing-masing individu bertransformasi dari orientasi 'saya' ke 'kita'. 

WE tidak saja mengartikan kita, tapi singkatan dari 'whole emergenetics' yang mengaplikasikan konsep teorinya Ned Herrmann; 'the whole brain'  (Herrmann & Herrmann-Nehdi, 2015). 

'Emergineering a Positive Organizational Culture' yang diterapkan pada latihan WEteam merupakan salah satu contoh praktik nyata bagaimana menerapkan konsep emergenetics membangun kultur budaya positif melalui cognitive collaborations yang mengoptimalkan kinerja organisasi kita.

Dengan mengetahui kecenderungan pola pikir dan perilaku, menjadi lebih mengenal diri kita sendiri. Kemudian kita dapat pula memahami orang lain dengan lebih baik. Di tingkatan terakhir yang tersulit adalah bagaimana memastikan orang lain benar-benar bisa mengerti kita. 

Kemajuan teknologi digital, terutama kamajuan teknologi informasi atau telekomunikasi khususnya di bidang selular, menjadikan setiap manusia memiliki akses informasi yang sama, selama memiliki gadget, dapat menangkap sinyal dan memiliki pulsa yang cukup, atau memperoleh free-wifi. 

Sementara dengan latar belakang individu yang berbeda-beda. Berbeda bahasa, suku, adat, tradisi, kebiasaan, norma, kultur dan sub kultur, agama, keyakinan, ekonomi, sosial, serta lain sebagainya. Termasuk berbeda latar belakang pendidikan dan kemampuan literasi bacanya. Sehingga menimbulkan lebih banyak variabel keberagaman perbedaan (diversity) yag semakin kompleks.

Kesimpulan, Rekomendasi dan Pertanyaan Penelitian Mendatang

Jenis model pengembangan kepemimpinan kolektif yang dipelajari pada artikel penelitian pertama, dengan komponen peer-coaching terfasilitasi yang diperlukan, tidak hanya membantu peserta berbagi pengetahuan, informasi, dan ide-ide inovatif untuk manfaat yang lebih luas, tetapi memfasilitasi manfaat ikatan dari pembelajaran kohort dan penerapan pengetahuan serta keterampilan yang melekat pada peserta. 

Hal ini sangat penting bagi perempuan kulit berwarna yang cenderung kurang mendapatkan pendampingan dibandingkan pria dan kulit putih, sehingga membangun kapasitas yang lebih beragam untuk peran kepemimpinan. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk kaum perempuan Indonesia. Besar kemungkinan hasilnya akan berbeda, baik secara signifikan atau tidak.

Program pengembangan kepemimpinan saja tidak akan cukup mengubah kesenjangan kepemimpinan gender dan ras tanpa mengatasi hambatan dan bias struktural lainnya di sektor nirlaba layanan manusia (Thomas-Breitfeld & Kunreuther, 2017). 

Akan tetapi, langkah yang diperlukan adalah memberikan perempuan kesempatan pembelajaran dan pelatihan kepemimpinan, baik individu maupun kolektif, di mana pengetahuan, keterampilan, dan ide dapat dibagikan secara kolaboratif.

Dari artikel penelitian kedua ada tiga temuan utama: (1) perempuan yang berpartisipasi tidak melaporkan perasaan diskriminasi di tempat kerjanya; (2) para pembuat keputusan memandang bahwa perempuan juga terwakili dalam sektor kesehatan di Mozambik; 

dan (3) para pembuat keputusan memandang perempuan sebagai pribadi yang lebih peka terhadap isu-isu yang berpusat pada perempuan daripada laki-laki. Ketiga temuan ini perlu diperiksa kembali untuk partisipan perempuan Indonesia.

Meskipun pada pandangan pertama data menunjukkan bahwa bias gender tidak menjadi perhatian bagi perempuan di sektor kesehatan di Mozambik, mengkontekstualisasikan temuan ini dalam literatur yang ada memungkinkan kita untuk melihat faktor lain yang berperan. 

Mengingat komitmen lama Mozambik terhadap keterwakilan perempuan, ada kemungkinan bahwa efek dari memiliki keterwakilan perempuan begitu lama memang menormalkan kepemimpinan perempuan, setidaknya di sektor kesehatan. Terkait kesetaraan gender, seharusnya Indonesia jauh lebih maju. 

Namun demikian, bahkan di negara yang paling kaya sumber daya dan berfokus pada kesetaraan gender, diskriminasi gender masih ada dan memengaruhi perempuan di seluruh dunia.

Sedangkan pada artikel terakhir berkontribusi pada bidang neuroleadership dan working engagement, dan mengeksplorasi model empat kuadran All Quadrants All Lines (AQAL) dari teori integral. Menerapkan metode umum penelitian pembangunan teori dalam disiplin ilmu terapan. Tujuannya untuk menentukan peran neuroleadership dalam meningkatkan keterlibatan kerja. 

Pengembangan SDM (sumber daya manusia) kurang fokus dalam penelitian teoritis karena kurangnya kejelasan hubungan penelitian dengan praktek dan kurangnya minat pada isu teoritis (Storberg-Walker, 2006). Temuan penelitian ini menunjukkan bagaimana organisasi menerapkan keterlibatan kerja. 

Temuan dari meta-triangulasi dan bracketing menyajikan kerangka kerja EngageInMind untuk neuroleadership dan keterlibatan kerja. Kerangka kerja ini relevan dan dapat diterapkan. Aplikasi dalam bisnis untuk perbaikan ke depannya. 

Implikasi praktis untuk manajerial; wawasan bahwa neuroleadership meningkatkan keterlibatan kerja melalui dimensi psikologis, neurobiologis, sosiologis dan organisasi, seperti yang disajikan dalam kerangka EngageInMind.

Sayangnya keterlibatan jumlah peserta dalam focus group yang dilakukan tidak terlalu banyak dan diakui peneliti sebagai salah satu limitasi. Selain mempunyai tantangan tersendiri dengan pengunaan berbagai pendekatan kualitatif (mulai dari perancangan desain peneliti, pengambilan data, pengumpulan data, analisis data), 

peneliti berhasil menjahit beberapa teori baru yang tentunya memiliki literatur dan latar belakang yang harus kuat khususnya terkait dengan disiplin ilmu yang berbeda, yaitu berkaitan dengan aplikasi ilmu neurosains yang signifikan dan relatif baru. Namun, perlu diuji kembali untuk responden perempuan Indonesia, khususnya terkait dengan potensi kepemimpinan.

Dari rincian dan paparan di atas, ada beberapa poin yang bisa menjadi peluang untuk dilakukan penelitian akan datang dengan melakukan eksplorasi menjawab terkait pertanyaan-pertanyan dari pengamatan penulis berikut di bawah ini :

* Berdasarkan temuan-temuan di atas, bagaimana komparasi potensi kepemimpinan antar gender khususnya di Indonesia, yang bisa dibandingkan pada industri-industri berbeda, skala perusahaan yang berbeda, dan perbandingan antar masa normal dan masa kritis seperti masa sulit pandemi kemarin, serta menyikapi perubahan yang semakin cepat dan terus terjadi, tidak hanya disrupsi teknologi.

* Bagaimana perbandingan potensi kepemimpinan perempuan antar benua (Amerika, Eropa, Australia dan lain-lain) dan antar bangsa, misal di Asia Tenggara. Bahkan komparasi potensi kepemimpinan perempuan untuk masing-masing daerah di Indonesia.

* Eksplorasi potensi kepemimpinan perempuan Indonesia terkait dengan pelatihan kepemimpinan, pembinaan (coaching), memimpin kolaborasi tim internal dan eksternal (termasuk open innovation).

* Bagaimana potensi kepemimpinan perempuan Indonesia terhadap pengkayaan dan penerapan konsep-konsep kepemimpinan yang baru, seperti: neuroleadership, brain-based leadership, transformational leadership, digital leadership, dan pendekatan-pendekatan baru lainnya.

* Bagaimana potensi kepemimpinan perempuan Indonesia terhadap lintas generasi dan kemampuan literasi digitalnya.

* Eksplorasi bagaimana implikasi dan aplikasi peran dari neuroleadership dan keterlibatan kerja (work engagement) pada potensi kepemimpinan perempuan Indonesia. (BIS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun