Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 6 Agustus 2021. Dunia terus berubah, dan semakin cepat perubahannya terjadi. Lawrence mendefinisikannya sebagai kenormalan baru (new normal, 2013). Lingkungan bisnis yang berubah cepat, terdisrupsi oleh kemajuan teknologi informasi atau dikenal dengan sebutan ‘digital disruption’.
Perubahan yang terus bergejolak (volatility), penuh ketidakpastian (uncertainty), sangat rumit (complex), dan membingungkan (ambiguity). Dikenal dengan sebutan VUCA world, istilah yang pertama kali dipakai dalam teori kepemimpinan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus (1987). Namun dipopularkan oleh Navy Seals tentara Amerika Serikat setelah tahun 1990-2000-an.
Sedangkan Oxford memiliki brand sendiri dengan mengganti sebutannya menjadi TUNA world, yang menukar kata volatility dengan kata turbulence, dan complexity menjadi novelty. TUNA analysis menurunkan pendekatan strategi-strategi yang berbeda. Belakangan Ian C. Woodward menambahkan 2 huruf D, menjadi D-VUCAD world. Huruf D pertama mewakili kata 'disruption' dan D berikutnya mengartikan kata 'diversity'.
Disrupsi digital menimbulkan dampak diversity semakin kompleks, karena semua orang memiliki akses informasi yang sama, selama memiliki gawai (gadget) dan dapat menangkap sinyal, baik berbayar maupun gratis. Terutama di Indonesia, sementara masyarakat memiliki literasi baca dan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Ditambah sistem demokrasi yang mengijinkan semua orang mau berbicara dan berkomentar.
Sebenarnya diversity dalam berpikir dan berperilaku merupakan potensi yang positif bila kita cakap mengelolanya dengan baik. Sebaliknya dapat menjadi suatu ancaman yang destruktif, berujung perpecahan. 'Cognitive diversity' bila dimaknai dengan baik, bisa meraih capaian maksimal melalui cognitive collaboration, atau collaborative team yang solid.
Kita harus bersyukur; faktanya pandemi COVID-19 mempercepat bertransformasi digital. Semua pertemuan-pertemuan dilakukan dengan mudah secara virtual, menggunakan berbagai macam aplikasi, seperti: aplikasi zoom, google meet, microsoft teams, cisco webex dan masih banyak lagi.
Kenapa Literasi Digital Menjadi Penting?
Indonesia merupakan bangsa yang kaya dengan natural resources atau sumber daya alam (SDA). Namun kualitas SDM-nya yang masih sangat perlu ditingkatkan. “Literasi digital telah menjadi kemampuan umum yang perlu dimiliki oleh setiap anak bangsa, namun literasi baca menjadi prasyaratnya” (BIS, Juni 2021). Kekisruhan dan kegaduhan di dunia digital atau di dunia maya lebih banyak disebabkan karena literasi baca yang masih perlu ditingkatkan. Bangsa ini memang telah berhasil memberantas buta huruf, namun apakah pekerjaan rumah literasi baca sudah selesai?
Seperti dialami dan dirasakan oleh Jepang yang pada akhirnya sadar dan memikirkan kembali. Bagi mereka sekarang, kemajuan teknologi tidak jauh lebih penting daripada kemajuan SDM-nya itu sendiri. Mereka mendefinisikan Society 5.0 sebagai super smart society atau human-centered society.