Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 28 Maret 2020. Seringkali dalam memahami konsep kita terjebak dengan judul, istilah atau terminologi yang tanpa disadari kita salah mengartikannya. Karena dengan keseharian kita larut di dunia pekerjaan atau bisnis, dan merasa telah mempraktikan serta menguasai. Mungkin banyak pelaku bisnis yang menerapkan konsep manajemen bisnis gagal justru karena tak memperoleh esensinya.Â
Misalkan, masih banyak teman-teman kita yang belum bisa secara jelas membedakan antara pemahaman manajemen stratejik dan strategi manajemen, atau pengertian pemasaran stratejik dengan strategi pemasaran, antara decision making dengan problem solving, belum benar-benar mampu memahami dan membedakan fungsi kerja komisaris, direktur, manajer, supervisor, garda terdepan atau frontliners dan seterusnya.
Oleh karena itu mengapa para pelaku bisnis merasa perlu untuk belajar atau kuliah lagi melanjutkan studinya agar dapat melengkapi ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Terutama belakangan ini banyak institusi bisnis dan non-bisnis yang memiliki masalah krisis kepemimpinan karena kurangnya pembekalan.Â
Sementara sebaliknya banyak perusahaan dan individu berbondong-bondong belajar dan mengikuti kursus ini. Semua orang belajar leadership. Apa dampaknya? Banyak karyawan dan orang pada umumnya termotivasi dan terinspirasi ingin menjadi leader. Walau tidak salah, pertanyan berikutnya; kalau semua tertarik menjadi leader siapa yang ingin menjadi follower-nya?Â
Sebelum menjadi leader yang baik jadilah follower yang baik. Akhirnya ramai-ramai belajar lagi tentang followership [Creating the Great Followers, Robert AB, Iluni MMUI, 2020]. Begitu seterusnya dinamika perkembangan ilmu manajemen, khususnya terkait dengan humaniora atau berhubungan sesama manusia.
Bila secara otodidak kita 'googling' di internet, mungkin ada seribu lebih konsep teori kepemimpinan. Lantas mana yang akan dipilih untuk diterapkan? Mengacu negara-negara maju mereka telah meninggalkan konsep-konsep manajemen lama yang tak sesuai lagi dengan perubahan lingkungan bisnisnya. Dampak disrupsi teknologi digital, lingkungan bisnis berubah semakin cepat. Terus bergejolak, penuh ketidakpastian, cukup rumit dan sangat membingungkan. Apalagi dengan kemajuan teknologi digital tersebut, semua memiliki akses informasi yang sama tanpa batas. Bagi mereka dunia di dalam genggaman. Menelurkan lebih banyak lagi variabel perbedaan, sehingga semakin penuh keberagaman berpikir dan berperilaku dalam bekerja serta berbisnis sehari-hari.
Untuk menjawab tantangan itu semua, diperlukan kemampuan untuk dapat memahami dan menerapkan ilmu kepemimpinan yang mengunakan otak. Loh kok? Kedengarannya kasar ya. Seakan-akan selama ini tanpa otak. Bukan itu maksudnya. Karena otak manusia berkemampuan untuk beradaptasi di setiap perubahan lingkungannya. Kecepatan beradaptasi ini adalah anugrah Sang Penciptanya.Â
Manusia dilahirkan ke dunia telah dilengkapi dengan otak yang memiliki neurons atau sel-sel otak sebanyak 100 milyar lebih. Fungsi prefrontal cortex bagian organ otak yang posisinya persis di belakang dahi melengkapi manusia menjadi mahluk Allah yang sempurna. Ditakdirkan manusia lahir ke dunia untuk menjadi khalifah, pemimpin di muka bumi ini. Memimpin dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan seterusnya. Agar tetap terjaga dan terpelihara bumi sebagai sumber daya alam yang harus bisa diwariskan ke anak cucunya.
Kepemimpinan pada esensinya adalah hubungan antar yang memimpin dengan yang dipimpin. Pemimpin memiliki otak, demikian pula yang dipimpinnya. Efektivitas komunikasi antar otak ini menjadi krusial. Agar hasilnya optimal, harus berbasiskan otak sehat, yaitu otak normal yang dipergunakan untuk hal-hal positif. Akhirnya kepemimpinan berbasiskan otak sehat mulai terdengar di negeri ini. Sementara mereka, khususnya negara-negara maju yang telah menerapkan terlebih dahulu menyebutnya dengan isitlah brain-based leadership, neuroleadership, atau neuroscience of leadership.
Neuroleadership dianggap sebagai bidang studi yang muncul dan berfokus pada aplikasi pengetahuan neurosains ke dalam bidang pengembangan kepemimpinan, pelatihan manajemen, manajemen perubahan, pendidikan, konsultasi dan pembinaan [Ahmad H. Hamzah dan Dr. Abdel Moneim El-Said, 2013].Â