[Access your highest potential to success in an era of digital disruption]
Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community.
Jakarta, 16 Februari 2020. Dulu kita pernah bilang tahun 2020 masih lama. Sekarang, saat tulisan ini ditulis dan dibagikan, nyatanya telah berada pada tahun tersebut. Mari siapkan diri dengan lebih baik lagi.
Seperti yang kita ketahui dari buku-buku sejarah Indonesia, kita telah mempunyai perjalanan bangsa yang tidak mulus. Tahap pertama telah dilalui; Indonesia dijajah kurang lebih selama 3,5 abad (masa penjajahan fisik). Kemudian masuk ke tahap kedua dimana banyak bangsa di dunia yang terlihat sepertinya telah merdeka penuh, namun sebenarnya masih dijajah secara ekonomi (masa penjajahan ekonomi).
Sementara bangsa kita sekarang sedang giat-giatnya mengejar ketertinggalan ekonomi, dan kebut membangun infrastruktur, mereka negara-negara maju telah berpikir dan masuk ke tahap berikutnya; tahap ketiga. Di tahap ketiga ini mereka telah berhasil menghimpun dan menguasai data, informasi serta pengetahuan menjadi semakin kuat (masa penjajahan pikiran). Secara tidak sadar tahap ini telah dimasuki. Selamat datang di "Abad Otak" !
Komputasi kuantum telah menyediakan data dalam jumlah besar terhadap Internet of Things (IoT) yang menjadi ladang berkembangnya Artificial Intelligence (AI) dan Deep Learning yang akhirnya mendukung terciptanya teknologi robotika. Faktanya keberhasilan di era disrupsi digital bergantung pada pola pikir, sikap dan perilaku. Bukan kemajuan teknologi itu sendiri. Kita percaya hal itu karena kurangnya pola pikir dan pengalaman. Ketangguhan mental juga diperlukan di sini.
Disrupsi kemajuan teknologi digital memicu perubahan dunia yang semakin cepat di segala aspek kehidupan. Termasuk berdampak kepada perubahan lingkungan bisnis di seluruh industri yang terus bergejolak (volatility), penuh ketidakpastian (uncertainty), sangat rumit (complexity), dan membingungkan (ambiguity), serta semakin banyak variable perbedaannya (diversity).
Istilah "Dunia VUCA" telah ada semenjak di penghujung tahun 1990-an akhir, sebelum tragedi peristiwa penabrakan pesawat boeing 737 ke gedung Twin Tower, New York, 9 September 2001, yang diperkenalkan oleh US Army War College. Berakhirnya perang dingin (krisis keuangan).
Lantas bagaimana sebaiknya bersikap dalam menghadapi perubahan dunia yang VUCA sifatnya ini? Dianalogikan pada prinsipnya; persis seperti para peselancar (surfer) turis luar negeri yang pada saat berlibur ke Bali dan daerah lainnya di Indonesia, selalu mencari pantai mengejar peluang ketinggian ombak rata-rata minimal 4-5 meter. Semakin tinggi semakin menarik bagi mereka. Dengan ketinggian ombak itu mereka sangat happy berselancar menikmatinya.
Sementara bagi kita yang tidak mahir berenang, hal ini menjadi suatu ancaman. Di dunia VUCA, kita senantiasa dituntut waspada dengan cara berpikir dan bagaimana kita mengambil keputusan yang terbaik dan tepat pada waktunya. Intuisi tidak selalu benar, kesalahan prediksi-prediksi neuron dopamin pun dapat berakibat fatal. Jangan tertipu oleh perasaan (How We Decide, John Lehrer, 2009). Perhatikan otak yang selalu berdebat. Tempatkan moralitas dan etika dalam mengambil keputusan. Tanamkan sirkuit-sirkuti kebaikan.Â
Era digital telah memiliki dampak yang drastis pada layanan dan perilaku konsumsi. Akseslah kekuatan neuroplastisitas otak kita. Ingat; "neurons that fire together wire together, if we don't use it, we will lose it" (Future Directions in Well Being, Mathew A White Gavin R. Slemp A. Simon Murray, 2017). Neurosains menjelaskan dengan secara rinci cara kerja otak tersebut. Di dalam lingkungan yang terus berubah semakin cepat, sangat ironis bila kita masih mengandalkan ilmu dan alat bantu yang usang - tidak up to date lagi. Munculnya disiplin ilmu baru ini tidak boleh hanya sekedar terkesan keren (efek wow).