Selesai melaksanakan kewajiban sebagai  seorang karyawan pabrik tekstil ternama di kawasan Bandung tepatnya Cicalengka, Ikbal yang terkenal dengan perilaku sopan santun di kalangan warganya merapikan barang bawaannya. Dia ingin segera sampai di rumah, terbayang senyuman mungil anaknya yang selalu menghibur dan menenangkan batin. Selain tergoda bayangan anak kesayangan yang kelak diharapkan menjadi tunas bangsa yang tangguh dalam menghadapi persoalan kehidupan. Di tengah ingatan yang bergelayut, tak luput pula pada pandangannya, situasi langit yang sudah menampakan warna kelam pertanda hujan akan turun.
Jaket kulit berwarna hitam pemberian sahabat dekatnya semenjak masih bujangan yang disimpan di loker lemari kerjanya, dengan lekas dia kenakan dan langsung bergegas menuju tempat penyimpanan kendaraan. Riuh riang pikir dan batinnya tak henti berkumandang menggelora membuat energitas hidupnya tampak melahirkan gambaran diri yang kokoh dalam berpendirian.
Seperti biasa, raut muka riang dan sumringah seolah tanpa ada beban hidup yang dipikul selalu menghiasi wajah sewaktu pulang menuju tempat tinggalnya. Padahal di pabrik tempat kerjanya tak jarang dia dicemooh oleh sesama karyawan yang merasa diri paling tinggi jabatan dan tak jarang pula meninggikan diri, hanya gara-gara gagap yang diderita ketika sedang melakukan pembicaraan. Makanya tidak jarang sebutan gagap sering dilontarkan oleh rekan kerjanya dengan begitu ringan tanpa beban di lidah dalam melafalkannya. Â
Bagi dia cemoohan sudah menjadi santapan gurih dan renyah sewaktu berada di lingkungan kerjanya. Bagaimana tidak, setiap tindak yang dilakukan olehnya dalam menunaikan kewajiban kerjanya, beragam cemoohan dengan derasnya dilemparkan ke hadapan mukanya. Tanpa berbicara kualitas kerja yang dihasilkannya layak diperhitungkan, bahkan kalau pun mau ada yang itung-itungan mungkin kinerjanya tidak dapat terhitung.
Aneh, padahal hanya gara-gara gagap dalam berkomunikasi, cemoohan begitu mudah dan ringannya dilontarkan oleh mulut rekan kerjanya. Tidak jarang cemoohannya itu langsung mengena ke arah wajahnya. Kendati demikian, tak goyah dia dalam menjalankan tugas sebagai buruh pabrik yang penghasilannya masih jauh dari mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Apalagi dia dan keluarganya hidup di tengah beragam tuntutan kemajuan zaman.
Mungkin dia tidak pernah membayangkan akan mengalami dicemooh dan diolok-olok oleh orang yang sebangsa dengannya! Tentunya, yang sama-sama mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga masing-masing. Dan tidak menutupi kemungkinan juga para pencemooh itu lebih sukar hidupnya dibanding dengan kehidupan Ikbal.
Sesampainya di tempat penyimpanan kendaraan bermotor, tak banyak pikir dia langsung menyalakan kendaraannya dan langsung melajukan kendaraan ke arah kediamannya yang terletak tidak jauh dari pabrik tempat bekerjanya. Meskipun rumahnya tidak jauh dari pabrik, tidak jarang dia bisa sampai ke rumah dengan tidak cepat, karena kondisi jalan yang kadar kerusakannya sudah layak untuk diperbaiki bahkan kecelakaan di jalan yang dia lewati itu sudah sering terjadi. Selain keadaan jalan yang rusak, volume kendaraan yang melintas jalan yang digunakan dia pulang bukan main banyak jumlahnya. Itu yang menyebabkan jarak yang dekat tidak menjamin bisa ditempuh dengan cepat.
Selama perjalanan pulang, keriangan yang bukan dibuat-buat apalagi diada-ada masih dirasakannya, karena bagi dia pantang untuk berbuat yang dibuat-buat apalagi bertingkah mengada-ngada. Maklum dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang selalu menjalankan yang sudah ada atau diadakan.
Sesekali di atas kendaraan dia melirikan pandangan ke arah kiri dan kanan, tidak tahu apa yang menjadi sebab dia berlaku seperti itu, yang jelas melirik ke arah kanan dan kiri sudah menjadi kebiasaan dia ketika berada di atas kendaraan.
Tidak terasa, dia sudah sampai di halaman rumah yang tidak begitu luas ukurannya namun masih bisa digunakan untuk bermain anak-anaknya seumapama waktu libur sekolah tiba. Tidak lama kemudian dia pun menyimpan kendaraan dan langsung menuju ke arah pintu depan yang menjadi ruang masuk utama ke dalam rumahnya.
Di depan pintu dia sempat menarik napas secara perlahan tanda pelepas letih, yang tidak membuat dirinya merasa lelah untuk terus melakukan aktivitas sebagai seorang suami yang mempunyai kewajiban untuk menghidupi anak dan istri.