[caption id="attachment_181652" align="alignright" width="300" caption="Uku Buaa Abai (62)"] [/caption]
Di Mendalam Kapuas Hulu, tinggal dua orang perempuan Dayak berdauntelinga panjang (Hisaang Kavaat), dianggap berpenampilan tidak lazim di tempat umum, namun dikagumi calon imam katholik dari Manado.
Uku Abai (67) dan Uku Buaa (62), pasangan suami istri dari Dusun Uma’ Suling - Mendalam Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat (5/6) datang Pontianak sembari mengantar cucunya yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Uku Buaa (62) adalah salah satu dari dua orang perempuan Dayak Kayaan yang tersisa dan masih berdaun telinga panjang di Dusun Uma’ Suling – Mendalam Kapuas Hulu.
Generasi perempuan Dayak Kayaan berdauntelinga panjang sudah sangat jarang dijumpai, sebagian mereka walaupun masih hidup, namun karena malu memiliki penampilan demikian, daun telinganya dipotong melalui operasi kecil di rumah sakit.
Selain itu, pada decade sebelumnya upaya tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk menghindari stigma buruk yang menganggap penampilan yang demikian tidak lazim lagi.
Alasannya menurut Uku’ Buaa, mereka malu karena sering menjadi perhatian jika bepergian dan dianggap tidak lazim, selain itu, daun telinga yang menjuntai hingga sebahu itu dipotong karena anjuran keluarga. Sekarang tidak ada lagi generasi muda Dayak Kayaan Mendalam yang perempuan mau berpenampilan sebagaimana Uku Buaa.
Uku’ Buaa adalah seorang Dayung aya’ ,seorang imam perempuan Dayak Kayaan Mendalam yang masih hidup, Dayung aya’ sebelumnya adalah Uku’ Tivuung Jawe’ yang sudah mangkat hampir satu decade lalu. Seorang Dayung merupakan imam yang berperan dalam prosesi ritual adat seperti Dange (pesta panen_red), Melaa (ritual pemberian nama_red) dan lain sebagainya, selain itu memiliki peran penting dalam proses inkulturasi budaya Kayaan Mendalam kepada generasi berikutnya.
Sepulang pastor AJ. Ding Ngo (1960) dari Roma dalam masa-masa sidang Konsili Vatikan II, ia melakukan pembaharuan dalam proses liturgy gereja kaholik di Mendalam, beberapa prosesi ritual adat Dayak Kayaan mengalami akulturasi ke dalam prosesi liturgy gereja katholik yang hingga sekarang masih dipraktikan, terutama dalam misa ucapan syukur Dange Dayak Kayaan.
Bagi Uku Buaa dan Dayak Kayaan Mendalam hal tersebut merupakan akulturasi yang sudah menyatu dalam kehidupan beragama mereka. Soal perilaku masyarakat yang menganggap penampilannya sudah tidak lazim, bahkan menjadi bahan olokan, bagi Uku’ Buaa hal itu sudah biasa dia alami, tapi baginya apa yang dijalaninya juga merupakan representasi dari kesadaran budaya dan aktualisasi iman.
Uku’ Abai sang suami mengisahkan kejadian yang baru saja mereka alami di Putusibau (5/6) sewaktu akan berangkat ke Pontianak, ada sekelompok orang berkomentar tidak pantas ketika melihat penampilan Uku’ Buaa, “Sayangnya saat itu saya ada di dalam taxi, mereka katakan daun telingga yang menjuntai tersebut seperti cacing, saya sebenarnya ingin sampaikan kepada mereka, bahwa ini bagian dari adat yang harus dilestarikan selagi bisa,” kata Uku’ Abai. Abai melanjutkan bahkan yang melontarkan kata-kata kurang pantas tersebut orang Dayak juga.
Leonadus Dungo (38) salah seorang sanak family menuturkan, Uku Buaa sering sekali diundang oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu sebagai salah satu ikon parawisata. Beberapa waktu yang lalu Uku Buaa diundang ke Jakarta dalam acara pagelaran produk kerajinan, dimana Provinsi Kalimantan Barat sebagai tuan rumah. Acara itu kata Uku Buaa dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia.
“Peran saya, ya menjadi penampil saja, mata saya sampai sakit oleh kilatan blitz kamera karena setiap tamu yang datang mengajak berfoto bersama, saking lelahnya saya, saya akit selama dua hari setelah acara usai,” ungkap Uku’ Buaa polos.
Uku Buaa lumayan sering ke Pontianak dibanding Uku Abai, maksud kedatangannya kali ini murni kepentingan keluarga, setelah beberapa waktu lalu juga berada di Pontianak.
Dikagumi calon imam katholik dari Manado
Di tempat Leonardus Dungo, di jalan Parit Pangeran Siantan Hulu, Pontianak, malam itu (6/6) yang hadir pada kebaktian lingkungan tidak terlalu ramai, maklum hanya kebaktian biasa. Namun rupanya ada hal yang luar biasa bagi Frater Franky pemimipin kebaktian. Frater asal Manado itu mendapat pengalaman baru berjumpa seorang perempuan Dayak yang berdaun telingga panjang .
"Wah, malam ini saya dapat pengalaman yang luar biasa, hampir setengah tahun saya bertugas di Paroki Stella Maris Siantan, baru sekarang saya benar-benar bertemu seorang ibu dari suku Dayak bertelinga panjang," ungkapnya antusias.
Franky menambahkan bahwa dirinya selama ini hanya membaca di majalah-majalah tentang perempuan Dayak berdaun telinga panjang, jadi kesempatan tersebut tidak disia-siakan Franky, mungkin ini kesempatan terakhir dan tentu saja langka karena tidak setiap hari bertemu dengan perempuan Dayak, si nenek berdaun telinga panjang tersebut.
Seusai kebaktian Franky tak langsung bergegas pamit, justru dengan sabar ia menunggu umat lain berpamitan pulang, demi untuk dapat sekedar berbincang dan mengagumi si nenek bertelingga panjang itu.
Bahkan Franky masih menggunakan toga nya--sepertinya itu sengaja ia lakukan ketika meyampaikan niatnya untuk berphoto bersama si nenek, sayangnya untuk mengabadikan moment tersebut ia hanya punya handphone berkamera.
Mengambil gambar dengan kamera handphone apalagi di dalam ruangan yang tidak memiliki penerangan cukup baik gambarnya pasti akan kurang memuaskan, apalagi kebanyakan resolusi warna kamera handphone yang paling sederhana di bawah 2 mega fixel (ukuran kepekatan warna_red). Dan benar saja, awalnya gambar diambil di ruangan dapur, Franky duduk di sebelah si nenek dan meminta salah seorang dari hadirin bertugas sebagai photographer.
Shoot sekali, sepertinya sang frater belum puas dengan hasilnya, dengan penasaran diamatinya hasil jepretan sang photographer dadakan, hasilnya kurang memuaskan, “Agak gelap kita pindah diruang tamu saja,” katanya bergegas. Lalu pengambilan gambar pindah diruang tamu dimana cahayanya cukup terang. Jepretan kedua cukup baik, “Nah…ini cukup baik dan gambarnya tampak proporsional,” kata Franky riang.
Setelah itu sang Frater pamit pulang, sembari berjabat tangan dengan tuan rumah dan beberapa tamu yang masih ada, ia berharap masih bisa bertemu dengan si nenek berdaun telinga panjang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H