Mohon tunggu...
Bambang Bider
Bambang Bider Mohon Tunggu... profesional -

"MENULISLAH SELAGI BISA"

Selanjutnya

Tutup

Money

Harga Karet sebagai Penopang Ekonomi Masyarakat Sanggau Ledo Merosot Tajam

10 Juni 2012   04:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:10 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga produk karet kian merosot akibat persoalan lokal dan kondisi perdagangan global, petani diharapkan tetap menjaga kualitas produk.

Di Dusun Paling Kecamatan Sanggau Ledo Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat harga karet kian merosot hingga mencapai Rp. 11.000 per kilogram.

Tuyung (47) seorang pedagang pengepul karet di Dusun Paling Kecamatan Sanggau Ledo (10/6) mengukapkan harga karet di Dusun Paling Kecamatan Sanggau Ledo kian merosot. Menurutnya dia tidak asing lagi dengan fluktuasi harga yang sering terjadi pada jenis produk perkebunan rakyat ini.

“ Selama ini sudah biasa, ada beberapa factor yang bisa mengakibatkan harga karet kian merosot—bisa karena kondisi perdagangan terutama pada jenis hasil perkebunan ini mengalami fluktuasi secara nasional bahkan dunia,” kata Tuyung.

Beberapa factor itu misalnya karena gudang penuh, produksi melimpah sementara permintaan turun atau secara lokal terkadang juga berkaitan dengan kualitas produk karet itu sendiri. Namun harga yang merosot tajam sekarang sepertinya lebih diakibatan oleh faktor yang dipengaruhi pasar secara nasional dan global.

Tuyung mengungkapkan kondisi ini memang biasa dan tidak terlalu mempengaruhi  kondisi perekonomian dalam jangka waktu yang lama, karena dalam dalam hitungan seminggu kedepan harganya sudah normal kembali. Harga normal karet biasanya pada kisaran Rp. 20.000 per kilogram.

Karena harganya yang relatif stabil, maka masyarakat di Kecamatan Sanggau Ledo banyak yang berkebun karet. Namun berdasarkan trend perkembangan ekonomi secara global  pada 25 Mei 2012, Harian Kompas mengungkapkan harga produk ini mengalami penurunan ditengah permintaan akibat  krisis hutang Eropa mengakibatkan kekhawatiran melambatnya permintaan dunia terhadap produk tersebut.

Selain itu ekonomi  China salah satu tujuan ekspor produk karet dari Indonesia juga tengah mengalami perlambatan akibat melemahnya penjual produk otomotif dari negera tirai bambu tersebut sebesar I,3 persen dalam empat bulan terkahir hingga menurunkan permintaan karet sebagai salah satu bahan pembuatan ban.  (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/25/16090949/Harga.Karet.Menurun.karena.Kekhawatiran.Permintaan)

Selain itu, tantangan ke depan menurut Tuyung, karena banyaknya lahan perkebunan yang dialihfungsikan oleh beberapa pemodal lokal untuk perkebunan monokultultur seperti sawit, maka lahan perkebunan masyarakat semakin sempit. “Sekarang ada beberapa orang pemodal lokal yang gencar membeli tanah pertanian warga untuk perkebunan kelapa sawit, sayangnya masyarakat mau saja menjual tanah mereka itu, memang bukan tanah bersertifikat hak milik, tapi biasanya lahan bekas ladang,” ungkap Tuyung.

Tuyung melanjutkan, selain itu terkait dengan produk karet, pengepul juga mendapatkan tantangan yang pelik  misalnya berkaitan dengan produk petani yang tidak sesuai standar karena diolah atau dicampur dengan bahan yang tidak semestinya.

Misalnya latek yang harusnya di olah menggunakan cuka semut justru dicampur dengan bahan lain seperti pupuk urea, pupuk TSP dan tawas, memang praktik itu akan mempengaruhi  berat timbangan karet tetapi juga membuat kualitas produknya menurun. Praktik lain untuk menambah berat timbangan tersebut adalah dengan menambahkan materi seperti residu bahan produksi lain yang mestinya tidak perlu dilakukan. Selain itu harga lokal juga dipengaruhi oleh kebiasaan petani menjual produk karet basah atau setengah kering.

“Semestinya,  apalagi dalam kondisi harga produk yang tidak menentu seperti sekarang, mestinya petani sadar dengan melakukan praktik produksi yang kurang baik akan berakibat langsung pada kualitas produk, hal ini justru semakin  menurunkan harga jual,” kata Tuyung mengingatkan.

Tuyung juga mengisahkan dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu kualitas produk karet lokal secara umum di wilayah Sanggau Ledo masih sangat baik, masyarakat menjual produk karet berkualitas sesuai standar, bahkan karet  di wilayah ini waktu itu, masih bisa bersaing dengan Malaysia dan masih bisa langsung dijual ke perbatasan melalui Jagoi Babang – Indonesia ke Bau’ – Malaysia Swrawak, namun sekarang  mengapa orang kampung tidak berlajar dari kondisi tersebut..?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun